3 Permintaan Ayah Sebelum Meninggal Dunia

18 komentar
Sebenarnya kematian itu hal yang biasa, jika beriman. Namun cerita kehidupan meninggalkan kenangan mendalam bagi setiap insan. Tinggal nunggu giliran. Entah waktunya kapan, cuma DIA yang bisa memutuskan.

Saya menulis kata-kata tersebut di IG story saat mengetahui almarhum Glenn Fredly meninggal dunia. Kepergiannya membuat semua orang yang mengenal dekat beliau sangat kehilangan. Para fans-nya pun juga turut bersedih kehilangan pelantun lagu patah hati ini. Maksud saya dari ungkapan tersebut adalah tidak perlu berlarut-larut menangisi bagi siapapun yang kembali padaNya. Cukup kenangannya saja yang bisa kita ambil hikmahnya.


Masih terekam dalam ingatan bahwa Glenn Fredly meninggal dunia tanggal 9 April 2020. Di waktu yang sama ayah saya sedang mengalami sakit dan beristirahat di rumah. Beberapa kali ke rumah sakit, tapi selalu ditolak dengan alasan kamar penuh. Ayah saya terkena TB paru setelah melihat hasil rontgen. Ayah pun menjalani berobat jalan TB paru dari puskesmas. 10 hari kemudian ayah saya meninggal dunia.

Ayah bukannya membaik malah tambah sesak nafas di hari-hari berikutnya setelah minum obat TB parunya. Pasti yang pernah mengalami pengobatan penyakit ini tahu bentuk obat dan anjuran minumnya. Tiap hari harus minum 3 butir obat yang ukurannya besar. Saya sampai bertanya di status Facebook soal efek obat TB paru bagi penderitanya. Ternyata jawaban teman macam-macam, ada yang bikin sesak nafas, nafsu makan turun drastis atau muntah-muntah.

Kalau saya flashback  sebelum ayah meninggal dunia, ada beberapa permintaannya yang diluar kebiasaan. Saya pernah mendengar dari orang-orang ada sesuatu yang ganjil dalam diri seseorang kalau ia ingin berpulang. Hal-hal tersebut ayah alami dan saya pun menyaksikannya.


Minta Makanan yang Jarang Dimakan

Selama hidupnya, ayah enggak pernah rewel soal makanan. Makanan rumah yang dimasak sama ibu dimakan olehnya. Kalau dia suka dimakan, kalau enggak suka dia cari alternatif makanan. Beli makanan apa gitu di luar.

Sebelumnya ayah sempat buang-buang air sampai badannya lemes. Lalu dibawa ke klinik dan dinyatakan sakit lambung. Minum obat tapi enggak ada kemajuan sembuh, malah tambah lemes. Makan jadi kurang. Pengennya makanan yang anget-anget. Dia minta sop kambing, sate ayam, soto Betawi, seblak, jus buah.

Semua makanan tersebut permintaan dia sendiri. Saya sempet ngedumel sih, orang sakit ada aja nih kemauannya. Pengennya makan yang enak-enak. Tapi dibeliin juga sih makanan yang dia minta. Dimakannya juga sedikit, dia enggak kuat kunyah karena giginya ompong di bagian geraham dan beberapa gigi depan.

Maunya dipijitin terus, katanya badannya pada sakit

Maunya minum jus alpukat. Saya sampai keliling nyari tukang jus alpukat tapi enggak ketemu karena mungkin pada enggak jualan saat wabah Corona begini. Akhirnya saya beli alpukatnya aja di pasar dan ibu yang bikin jusnya di rumah.

Kondisi badan ayah makin melemah dan kurus badannya. Ke kamar mandi saja sudah enggak kuat. Asupan makanan semakin berkurang padahal dia harus minum obat sehari 3 kali. Bubur pun cuma sedikit yang dimakan, padahal itu makanan sudah lembut banget. 

Kalau saya bisa simpulkan dari kejadian ini, ayah tuh kayak mau menikmati kenikmatan dunia untuk terakhir kalinya. Hal ini memang secara tiba-tiba dialami oleh ayah. Perasaan saya memang sedikit enggak enak, tumbenan dia minta makanan ini itu tapi enggak dihabisin. 


Ingin Ketemu Orang-orang Terdekat

Selama ayah sakit di rumah, cuma beberapa orang saja yang menengoknya. Seingat saya pernah 2 orang temannya datang ke rumah, entah ada urusan atau memang menjenguk. Sekitar dua atau semingguan sebelum meninggal, ayah ingin bertemu dengan adik-adiknya, kebetulan ayah memang anak sulung. Namun tak satu pun adiknya yang menjenguk ayah selama sakit. Mereka beralasan kalau keluar rumah, nanti ketemu orang banyak dan kena virus Corona. 

Memanfaatkan kecanggihan teknologi, ayah cuma bisa ketemu mereka lewat video call WhatsApp, itu pun cuma nyambung buat 4 orang. Padahal ayah ingiiiiiinnnnnnn sekali ketemu saudara-saudaranya untuk terakhir kalinya. Mungkin ayah sudah tahu bahwa dia enggak akan lama ada di dunia, makanya dia minta begitu.

Ibu juga sempat tanya sama ayah, ada hal apa yang membuat dia terasa berat? Jawabannya ia ingin ketemu sama saudara-saudaranya. Kata ibu ayah sambil nangis saat ungkapin permintaan itu. Saya pun makin terasa kalau ini permintaan bukan main-main. Kita terus berusaha hubungi saudara-saudara lewat WA dan menyampaikan keinginan ayah, tapi enggak digubris sekalipun. 

Saya juga paham kalau kondisi saat ini memang enggak memungkinkan untuk ke luar rumah. Enggak boleh ke luar rumah kalau enggak penting-penting banget. Tapi situasi yang ayah saya alami berbeda. Kalaupun alasan takut keluar rumah karena kena virus Corona, harusnya saya, ibu, kakak, dan suami saya duluan yang terinfeksi. Kami yang mondar - mandir mengurus ayah tiap hari dan keluar rumah buat berobat. Kami pun keluar rumah dalam keadaan ekstra proteksi diri, pakai masker, kondisi fit, cuci tangan pakai hand sanitizer kalau lagi ke RS. Virusnya memang mematikan, tapi ketakutan akan terkena virus itu lebih menyakitkan.

Ok, saya pahami penolakan mereka tidak ingin menemui ayah di saat-saat terakhirnya. Wabah pandemi Corona ini memberikan suatu kenyataan yang pahit. Seolah-olah DIA membuktikan mana yang statusnya saudara saja atau benar-benar saudara ketika seseorang dirundung duka. Saya jadi saksi hidup terhadap kenyataan tersebut. 

Lagipula ayah saya meninggal dunia bukan karena akibat wabah pandemi Covid-19. Namun memang penyakitnya mengarah ke gejala virus tersebut. Itu pun hasilnya dibuktikan oleh rapid test dari rumah sakit Mitra Keluarga dan hasilnya negatif, ayah statusnya PDP (Pasien Dalam Pengawasan). Saya kaget kalau biaya rapid test mahal banget, 400 ribu rupiah. Aduh, pada sehat-sehat ya semua.

Sampai hari terakhirnya, ayah hanya bertemu istri, anak-anaknya, menantu (suami saya). Sedihnya saat nyawanya dicabut, tidak ada seorang pun yang menemaninya. Enggak ada yang bimbing ayah mengucapkan lafaz Allah sampai nafas terakhirnya. Ini sebuah penyesalan juga bagi saya. Padahal beberapa jam sebelum meninggal ayah minta ibu enggak usah ke mana-mana, duduk di samping ayah saja, enggak usah masak, dll. Mungkin maksudnya ayah mau ditemani sampai nafas terakhirnya.


Ingin Dirawat Di Rumah Sakit

Sebenarnya kemauannya satu ini aneh buat saya. Kenapa ayah maksa banget pengen dirawat di rumah sakit? Kita pun juga berusaha mondar-mandir ke beberapa rumah sakit, tapi hasilnya enggak ada kamar yang kosong. Semua penuh karena pasien Covid-19. Ke RS Fatmawati, Bakti Yuda, Graha Permata Ibu, RSUD Depok, menyatakan enggak bisa nampung ayah. Padahal kondisi ayah sudah sesak nafas dan lemas. 

Ayah cuma bisa dirawat di rumah sama saya dan ibu. Ibu sih yang dominan ngurusin ayah. Kalau malam ayah enggak bisa tidur karena engap atau sesak. Maunya dipijitin terus pakai minyak angin. Jadi, yang jaga dia juga enggak bisa tidur. Ibu jadi sering ngomel. Ditambah ayah susah makan dan minum obat. Emosi kita saat merawat orang sakit memang ditantang sih. 

Hari Sabtu pagi (18 April 2020) ibu datang ke rumah saya laporan kalau semalaman ayah enggak bisa tidur, hasilnya ibu juga enggak tidur dan uring-uringan. Saya dan suami langsung berinisiatif untuk cari IGD rumah sakit yang bisa memberikan pertolongan pertama supaya sesak nafas ayah berkurang. Tengah hari bolong, saya muter-muter pakai motor datengin rumah sakit. Mirisnya ada salah satu RS yang menyatakan enggak dokternya cuti. Memang enggak ada dokter lain lagi yang siaga di IGD? 

Surat pernyataan jika ayah diisolasi di RS dengan biaya mandiri

Pikiran saya sudah kalut, bingung, RS mana lagi yang bisa menampung ayah untuk dirawat. Sebisa mungkin saya masih cari RS yang bisa pakai jalur BPJS, cuma hasilnya nihil. Sampai akhirnya saya memutuskan untuk ke Mitra Keluarga Depok. Setelah tanya ke bagian pendaftaran, IGD nya bisa menampung ayah saya. Tanpa basa basi lagi saya jemput ayah dan memasukannya ke IGD. Pikiran saya yang penting ayah mendingan dulu deh, enggak sesak nafas lagi. Soal biaya pikirin nanti aja deh.

Saya, suami dan satu tetangga yang bonceng ayah ikut menunggu. Saat saya masuk ke IGD, saya sempat tanya kondisi ayah gimana. Katanya, di sini enak, tenang, enggak berisik, enggak denger ibu ngomel-ngomel. Akhirnya saya keluar dan membiarkan ayah istirahat. Suasana IGD jadi membuat saya merinding. Selain kondisi pasiennya, saya melihat langsung para dokter dan perawat yang bertugas menggunakan baju APD yang lengkap. Wabah virus Corona memang sungguh nyata.

Berjam-jam saya menunggu di luar IGD. Harap-harap cemas menunggu hasil cek lab ayah. Setelah hasilnya keluar, dokter menjelaskan secara rinci kondisi ayah. Memang semuanya tidak membaik. Untuk hasil lebih detail lagi, dokter menyarankan rapid test. Saya langsung gemetar menerima lembaran pernyataan rapid test. Kakak saya langsung membayar tunai rapid test-nya. 

Sudah jam setengah sepuluh malam tapi hasil rapid test enggak kunjung ada. Saya bolak balik tanya dokternya, tapi ia enggak bisa memastikan kapan hasilnya keluar. Selama menunggu di RS banyak momen yang saya lihat. Apalagi ada salah satu keluarga pasien lainnya meninggal dunia yang dirawat di IGD juga. Ketakutan saya semakin menjadi melihat momen itu, takut terjadi sama ayah.

Saya, kakak dan keponakan di pusara makam ayah

Suami menyarankan saya untuk pulang karena anak-anak menunggu di rumah. Meskipun ada ibu dan adik ipar yang menemani, tapi saya pulang juga. Belum makan nasi dari pagi, cuma cemilin roti dan teh kotak, belum mandi juga. Sampai di rumah dan bertemu anak-anak sekitar jam setengah 11 malam. Ngantuk, laper, dan gerah. 

Sekitar jam 00 dini hari, akhirnya ayah dipulangkan dengan alasan yang memang sungguh berat diputuskan. Biaya RS yang makin bertambah dan kami enggak punya asuransi swasta untuk meringankan beban biaya. Akhirnya hasil rembukan kakak dan suami saya, ayah dipulangkan saja. Suami pun menjelaskan keadaannya ke ayah. Ia sempat menolak karena merasa nyaman ada di RS. 

Tentu ini keputusan yang enggak mengenakan buat keluarga dan ayah. Inginnya kita juga ayah di rawat sebaik-baiknya di RS, namun kondisi biaya juga enggak memungkinkan. Alhamdulillah hasil rapid test-nya negatif. Jadi, bisa dipulangkan dan cukup isolasi mandiri saja di rumah. 

Sesampainya di rumah, ayah makin engap dan enggak bisa tidur. Ibu dan adik ipar d serta anak-anaknya diungsikan ke rumah saya. Ayah dijagain sama adik dan temannya, bergantian juga sama suami. Hingga esok harinya, Minggu 19 April s 2020 sekitar jam 11 siang meninggal dunia dalam kondisi tengkurap. 

Dari semua peristiwa yang saya lihat itu membuat saya memahami betapa beratnya ujian bagi yang sakit dan merawatnya.  Setidaknya saya dan keluarga sudah melakukan sebaik-baiknya buat ayah. Beberapa permintaan ayah sudah kami kabulkan sebaik mungkin. Dari minta makanan, dipijitin, beli minyak angin, beli jus, dll. Enggak ada yang perlu disesalkan, cuma satu aja yang enggak terwujud, enggak ketemu dengan saudara-saudaranya. 

Baru semingguan sih ayah meninggal dunia, tapi rasanya kayak ayah lagi pergi ke mana gitu. Memang ayah tuh jarang pulang, bisa 3 hari enggak pulang, entah ke mana dia pergi. Belum berasa banget kali ya ditinggalin ayah. Doa-doa terbaik buat ayah, apalagi bulan Ramadan ini katanya siksa kubur berhenti dulu, para arwah kembali ke rumah melihat keluarganya. Memang suami saya juga bilang kalau masih mencium bau bunga. 

Tiap orang punya perbedaan cerita perjalanan pulang kepadaNya. Ada yang mendadak atau diberikan sakit. Kebetulan saja yang ayah saya alami diberikan sakit dulu. Saya yang masih hidup, jadi belajar tentang kesabaran dan peka terhadap sinyal-sinyal dari permintaan tersebut. Semoga kita bisa menangkap sinyal apapun lebih peka terhadap orang sekitar, sebelum terlambat dan menyesal kemudian.


***

18 komentar

  1. Alfatihah untuk ayah...
    Semoga keluarga yanh ditinggalkan diberi kelapangan dan kesabaran.

    BalasHapus
  2. Ikut berduka cita ya mba Nurul. Semoga ayah diampuni semua kesalahan dan diberikan tempat terbaik. Ikut sedih ada keinginan ayah yang blm bisa terpenuhi. Tapi biar bagaimana, kalian sekeluarga sudah berusaha yg terbaik.

    BalasHapus
  3. Yang tabah ya, rul..insyaAllah ayah tenang dan semoga alm husnul khotimah.

    BalasHapus
  4. Alfatihah untuk ayahnya mbak Nurul, tetap semangat yaaaa

    BalasHapus
  5. Insya Allah, semoga Allah mudahkan jalan ayah menuju rabbnya. Keluarga yang ditinggal semoga diberi kesabaran.

    BalasHapus
  6. Alfatihah yang sabar yah rul, yang penting udah merawat bokap secara maksimal dan kita pun ikhlas pas ditinggalkan. Jadi inget pas alm. Bokap sebelum meninggal dirawat di rs pake askes dibilangnya kosong (padahal itu pake kartu PNS) akhirnya keluarga pun bilang ga pake kartu askes tapi bayar akhirnya secara otomatis tuh kamar mendadak Ada dunks hahaha (sekeluarga sampai terheran2) . Pas udah dirawat baalik lagi ke administrasi untuk bayar pake askes ga dikasih akhirnya telp ke pemerintah Rumah sakit ga beres akhirnya boleh pake askes itu dan gratis sampai dirawat 3 minggu

    BalasHapus
  7. Turut berduka ya Nurul, semogabAyah mendapat tempat yang terbaik disisinya.

    BalasHapus
  8. Rul.. Turut berdukacita ya..baru tau kalau ayah meninggal..inget bbrp waktu lalu kita sempet ngobrol soal kondisi Ayah nurul..
    Nurul yang tabah dan kuat ya..

    Semoga ayah dapat tempat terbaik di sisiNYA

    BalasHapus
  9. I feel you Mbak Nurul, saat mbah kakungku meninggal taun 2015 di usia 68th. Beliau orang terdekat pertamaku yang Allah panggil. Di bulan Ramadan juga. Jumat dini hari antara imsak & subuh. Sesek banget rasanya :') alfatihah utk ahah Mbak Nurul & mbah kakungku

    BalasHapus
  10. Al Fatihah, semangat ya Mbk, bacanya jadi ingat Ayahku yang meninggal juga mendadak karena asma, sedih sejak kecil aku ditinal ayah, tinggal kenangan dan doa buat ayah ya.

    BalasHapus
  11. Semoga ikhlas dan berbesar hati dengan situasi saat ini rul. Ayah temen dkt ku juga berpulang beberapa hari lalu tapi aku mohon sama dia jgn menilai ketidajhadirnnku karena takut covid melainkan hanya menjaga kenyamanan semua. Kalo aku datang bisa jadi tetangga mrk akan was2 melihat org dr luar komplek mrk hadir. Semoga husnul khotimah aamiin

    BalasHapus
  12. Turut berduka cita, Mbak Nurul. Ikut sedih membacanya, emosi saya ikut naik turun membaca tulisan yang dibuat dengan segenap perasaan. Semoga bapak di tempat yang baik di alamnya yang baru. Semoga sekeluarga tabah.

    BalasHapus