Soal pangan atau makanan lokal, Indonesia juaranya deh. Luasnya hutan di negeri ini menyediakan keanekaragaman hayati di dalamnya. Masyarakat bisa memanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan bernilai ekonomi. Salah satu wilayah hutan terbesar di tanah air berada di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Ada pangan lokal apa di sana?
Berkesempatan menjadi peserta offline gathering Nature's Artisans: Exploring Eco-Friendly Craft yang diadakan oleh #EcoBloggerSquad di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta pada hari Sabtu, 14 Juni 2025. Acara ini bertemakan Workshop Kolase, Protect & Restore Local Food. Acara dipandu oleh Fransisca Soraya yang selalu menawan membawakan acara. Ada 2 pemantik yang keren berikan materi yaitu Ristika Putri Istanti (Sekretariat LTKL) dan Esty Yuniar (Semesta Lintang Lestari) dan pemandu workshop Dian Tamara dari Pancaran Sinema.
Kabupaten Lestari Berfokus Pada Ekonomi Restoratif
Sejak Ibu Kota Nusantara berpindah domisili sejak tahun lalu, Pulau Kalimantan jadi daerah pusat perhatian orang-orang. Apalagi pesona pemandangan alamnya sungguh menarik dan magis. Coba melirik ke Kalimantan Barat yang memiliki hutan luas sekitar 5,55 juta hektare. Hal ini mencakup wilayah hutan rawa gambut yang penting sebagai penyerap karbon dan pusat keanekaragaman hayati. Ada satu kabupaten yang mempunyai komoditas berbasis alam yang berpotensi tinggi nilai ekonominya.
Salah satunya Sengkubak yang merupakan komoditas dari Kalimantan Barat yang dijadikan penyedap rasa oleh masyarakat Dayak. Sejenis daun tanaman liar yang memiliki rasa gurih seperti vetsin. Masyarakat Kalimantan Barat, khususnya di Kabupaten Sintang, telah menggunakan daun sengkubak sebagai penyedap rasa secara turun temurun, sebelum mengenal penyedap rasa buatan.
Saya juga baru tahu tentang Sengkubak dari Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat yang disampaikan oleh kak Ristika Putri Istanti. Kabupaten Sintang termasuk anggota Kabupaten Lestari yaitu sebuah asosiasi pemerintah kabupaten yang dibentuk oleh reprsentatif pemerintah kabupaten anggota dengan basis perlindungan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui gotong royong. Harapannya masyarakat sejahtera dengan mewujudkan ekonomi lestari sebagai model pembangunan Indonesia.
Kabupaten Lestari punya 9 anggota kabupaten yang ada di 6 provinsi di Indonesia seperti Kabupaten Aceh Tamiang, Siak, Musi Banyuasin, Sanggau, Sintang, Kapuas Hulu, Sigi, Gorontalo, dan Bone Bolango. LTKL berfungsi sebagai akselerator untuk menciptakan model ekonomi dan pembangunan berkelanjutan ekonomi untuk mewujudkan kabupaten yang lestari dan mandiri. Targetnya tahun 2030 nanti resep atau blueprint pembangunan lestari dari anggota LTKL dapat direplikasi di kabupaten lain di Indonesia.
Fokus dari Kabupaten Lestari yaitu ekonomi restoratif, artinya model ekonomi yang memprioritaskan pemulihan ekosistem alami dan keanekaragaman hayati dengan maksud untuk menyembuhkan dan memperbaiki lingkungan yang rusak.
Mengambil pernyataan Bhima Yudhistira Adhinegara - Direktur Eksekutif Center of Economics & Law Studies dalam buku "Saatnya Ekonomi Restoratif",ekonomi restoratif jawaban pertumbuhan berkualitas karena pendekatan model ekonomi ini dapat mengatasi berbagai tantangan. Model ekonomi restoratif menawarkan solusi dan mengintegrasikan pemulihan lingkungan dan peningkatan kualitas hidup dalam strategi pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi biasanya didorong terus bertambah, nggak mesti mencapai 100%. Ekonomi restoratif memperhatikan prinsip-prinsip utamanya yaitu adanya ambang batas (threshold), inklusivitas dengan melibatkan komunitas lokal, melindungi & merestorasi hutan dan memiliki nilai tambah dari pengembangan model ekonomi.
Pemanfaatan Pangan Lokal Dari Sintang untuk Cegah Stunting
Provinsi Kalimantan Barat adalah provinsi yang kaya akan keanekaragaman hayati dan warisan budaya. Perekonomian Kalimantan Barat sangat bergantung pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang memberikan kontribusi sebesar 20% terhadap PDB provinsi. Oleh karena itu, masyarakat Dayak sangat melindungi hutan dan isinya.
Di Kabupaten Sintang terdapat hutan adat Ansok yang menerapkan konsep hutan protect and restore yaitu Tembawang. Ini merupakan hutan pangan warisan leluhur. Sistem pengelolaan lahan tradisional oleh masyarakat adat Dayak yang berupa hutan kecil yang ditanami berbagai jenis pohon, terutama pohon buah-buahan dan tanaman lainnya, yang memiliki nilai sosial, ekonomi, dan ekologis yang tinggi.
Masyarakat Dayak mengelola hutan dengan cara berladang, namun ada aturan yang berlaku. Mereka berladang dalam satu wilayah yang dirasa hasilnya bisa mencukupi kebutuhan selama setahun. Mereka bisa mendapatkan makanan apa pun dari hutan, nggak hanya sengkubak tapi ada bawang Dayak, liak (jahe) padi, tengkawang dll. Setelah selesai berladang, mereka berpindah tempat dan memulihkan hutannya kembali.
Karena sistem berladang yang nomaden, masyarakat Dayak mengandalkan sistem pangan mandiri berbasis kearifan lokal yaitu
cara pengolahan tradisional dalam menyimpan atau mengolah makanan dengan fermentasi, pengeringan dan pengasapan. Saat berpindah-pindah tempat berladang melewati area perairan seperti Sungai Kapuas, sungai penghubung alam dan pengetahuan lokal.
Di sungai ini terdapat ikan gabus dan toman yang mempunyai banyak manfaat kesehatan dan nilai ekonomi. Esti Yuniar, anak muda dari Kabupaten Sintang yang bergabung di PT Semesta Sintang Lestari (SSL), perusahaan yang berkembang pada inovasi penelitian dan pengembangan komoditas di Kalimantan Barat.
Kolaborasi penelitian antara SSL dan Lab Bestari menemukan bahwa ikan-ikan ini memiliki kandungan albumin yang tinggi dan menawarkan manfaat kesehatan. Tujuannya adalah untuk memahami bagaimana praktik penangkapan ikan dapat berkelanjutan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dan melestarikan ekosistem perairan.
Dari hasil analisis laboratorium dan studi pasar, ditemukan pada ikan Toman mengandung albumin sebesar 17,2%, ikan Gabus mengandung 15%, dan ikan Toman juga memiliki lemak sebesar 20,2%. Lalu PT. Semesta Sintang Lestari menciptakan produk turunan seperti Bisco, biskuit makanan tambahan balita dengan rentang usia anak 8-24 bulan sebagai upaya pencegahan stunting. Saya sudah mencoba biskuitnya dan enak rasanya. Teksturnya mirip biskuit bayi yang ada di pasaran.
Ini sesi unik yang baru saya alami selama mengikuti offline gathering ada workshop kolase dari bahan-bahan bekas. Dipandu sama kak Dian Tamara, semua peserta diajak untuk berkreasi dengan menempelkan bahan-bahan bekas yang sudah disediakan. Ada ranting kering, daun kering, majalah bekas, novel bekas, lem, gunting, double tap, kertas warna warni dll. Idenya diambil dari potongan lirik lagu Warisan Lintas Zaman. Awalnya saya bingung banget mau bikin kolase apa. Akhirnya saya ambil potongan gambar hutan cokelat dan lirik Kenali lagi bumi sendiri.
Berkat ikutan workshop ini saya jadi lebih tahu banyak lagi tentang perkembangan kabupaten yang tergabung dalam Kabupaten Lestari dan model ekonomi restoratif yang menggambarkan keseimbangan antara perlindungan ekosistem, inklusi sosial, dan memastikan pertumbuhan ekonomi. Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat menggunakan pendekatan model ekonomi ini agar tetap berkelanjutan pemanfaatan pangan lokal.
Setelah acara usai, saya diberikan souvenir cantik berupa cokelat dari Kalara Borneo, signature deodorant dari Yagi Forest, tas anyaman dan kaleng daur ulang yang dikemas cantik. Pulang dengan penuh rasa semangat untuk mendukung ekonomi restoratif semakin berkembang ke kabupaten lainnya di Indonesia.
***
Tidak ada komentar