3 Perubahan Iklim yang Aku Rasakan Dari Rumah

1 komentar
Rumah kontrakan tiga petak dengan cat warna biru sudah kami tinggali selama 2 tahun. Kami terpaksa pindah dari kontrakan lama karena beberapa alasan yaitu kondisi WC yang mampet dan harga sewa yang enggak sanggup kami teruskan. Setelah diskusi panjang dengan suami, akhirnya saya nurut untuk pindah kontrakan lagi. Kali ini rumahnya lebih kecil dan harga sewanya relatif lebih murah. Namun suasananya lebih gerah. Ini karena rumahnya atau memang iklim mengalami perubahan?

Perubahan iklim

Berdasarkan letak astronomisnya, Indonesia melintasi garis khatulistiwa (equator) yang memiliki iklim tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Ke dua musim tersebut terjadi tiap 6 bulan sekali, bulan September-bulan Maret terjadi musim hujan, sedangkan bulan April-bulan Agustus terjadi musim kemarau. Namun, belakangan ini saya merasakan musim tersebut saling sabotase. Tidak memposisikan kondisi musim masing-masing. Fix, perubahan iklim sedang terjadi.  Lalu, apa saja yang saya rasakan terhadap perubahan iklim ini? 

Perubahan Iklim yang Aku Rasakan Dari Rumah


1. Gerah

Soal kegerahan enggak begitu masalah buat saya selama masih ada kipas angin. Kenapa enggak pakai AC? Karena satu, harga AC mahal, kedua kapasitas listriknya besar sehingga daya beli token listrik besar juga dan ketiga biaya perawatannya juga lumayan mahal. Ada keinginan pasang AC kalau siang anak-anak kepanasan bisa anteng ngadem di dalam rumah. Cuma sepertinya rasa gerah yang saya rasakan bukan hanya pada siang hari, malam hari juga terasa. Kadang kibasan kipas angin dan mandi enggak ampuh ademin badan saya yang kegerahan. 

Tiap malam saya sering mendapati anak-anak tidur enggak pakai baju, alias telanjang dada. Ketika saya tanya kenapa lepas baju, mereka menjawab "Gerah banget mah". Entah memang karena kondisi rumah yang beratapkan asbes atau memang cuaca lagi enggak bersahabat. Sedangkan bulan Maret harusnya masih musim hujan, belum masuk musim kemarau.  Saya sering merasakan gerah sampai bercucuran keringat ketika tidur. Padahal kipas angin non stop berputar saat malam hari. Bahkan sampai level 3 putarannya masih tetap berasa gerahnya. Saya masih berpikiran positif kalau kegerahan ini terjadi karena bangunan kondisi rumah yang kurang bagus. 

Terkadang saya melihat ramalan cuaca di ponsel, suhu menunjukkan 26°C pada malam hari atau kadang lebih tinggi. Padahal normalnya suhu pada malam hari sekitar 20-25°C. Ini artinya ada kenaikan suhu 1°C. Keadaan ini terjadi pada wilayah tempat saya tinggal di Depok. Entah bagaimana keadaan suhu di daerah lainnya. Apa merasakan hal yang sama? Tapi yang pasti jika ada kenaikan suhu udara, berarti ada 2 faktor yaitu perubahan iklim yang semakin nyata dan terjadinya musim peralihan. Melihat sudah masuk bulan April yang mestinya musim kemarau akan tiba. Kalau kata Han Ji Kyung pemeran dalam drama Korea Forecasting Love & Weather, musim peralihan itu meragukan. Musim yang tak bisa dibilang dingin ataupun panas.

2. Gampang Sakit

Sakit lumrah dialami oleh manusia, cuma kalau keseringan kan khawatir juga. Apalagi dengan kondisi pandemi Covid-19 yang masih belum reda, bahkan malah akan berganti menjadi endemi. Bersyukurnya kami sekeluarga (saya, suami dan 3 anak) bertahan melawan virus dengan menjalani protokol kesehatan yang benar. Kalau pun sakit cuma flu dan panas biasa. Cuma sakit 2 hari lalu segera mereda. 

Ternyata perubahan iklim bisa menyebabkan kesehatan manusia terganggu. Saking ekstremnya cuaca dan suhu serta kondisi iklim tropis di Indonesia, maka bakteri, virus, jamur dan parasit berkembang karena kelembaban udara pada musim kemarau. Mahluk-mahluk hidup terkecil seperti mikroorganisme tumbuh dengan sangat subur dan dapat bertahan hidup lebih lama. Jika imun tubuh manusia sedang tidak fit, maka virus cepat menyerang dan mengakibatkan sakit. 

Sakit akibat pengaruh perubahan iklim
Kami pernah berobat berbarengan karena sakit yang hampir bergantian

Kebetulan saya dan anak nomor 2 punya alergi, kalau kena udara dingin langsung bersin-bersin lalu meler. Bahkan saking mampetnya hidung jadi susah napas. Dalam setahun belakangan ini alergi itu sering muncul. Saya anggap hanya karena memang kelalaian saya kurang jaga kesehatan, ternyata ada pengaruh dari perubahan iklim. Ini terjadi tanpa kita sadari. 

3. Menurunnya Kuantitas Air Bersih 

Waktu sekolah pernah belajar proses terjadinya hujan kan? Anak sulung saya yang kelas 3 SD sudah mempelajari tentang iklim dan proses terjadinya hujan. Jika menurutmu hujan adalah rezeki dari Allah, sedangkan menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) hujan adalah endapan dari cairan atau zat padat. Pasti Lee Si Woo juga beranggapan yang sama. 

Proses terjadinya hujan mulai dari evaporasi (penguapan) di mana seluruh air di bumi menguap karena panas lalu naik ke atmosfer, lalu terjadi kondensasi (pengembunan) saat uap air akan berubah menjadi partikel-partikel es yang sangat kecil yang naik ke atmosfer dan mengalami perubahan suhu lalu partikel es berkumpul menjadi satu maka membentuk awan dan dinamakan koalesensi. Kemudian butiran es yang di awan mencair sehingga turun hujan ke Bumi disebut presipitasi. Siklusnya terus begitu.

Memang kalau habis turun hujan, kuantitas air di rumah saya jadi berlimpah. Tapi kalau enggak hujan dalam beberapa hari, kuantitasnya menurun. Padahal air sumber alam utama untuk kebutuhan manusia sehari-hari. Hubungan antara menurunnya jumlah air bersih terhadap perubahan iklim karena curah hujan tinggi yang turun langsung mengalir ke laut, belum sempat tersimpan di dalam sumber air bersih. Ini juga ada hubungannya dengan penggundulan hutan (Deforestasi). 

Kesulitan air bersih di rumah sama saja seperti kiamat kecil. Enggak bisa melakukan rutinitas sehari-hari seperti cuci baju, cuci piring, bersihin rumah atau mandi. Oleh karena itu, meskipun musim hujan kok kesediaan air enggak melimpah, karena perubahan iklim yang menyebabkan itu terjadi.  Sedangkan kebutuhan air akan terus meningkat hingga 55% di tahun 2050 (savewater.org/@pratisarabumi).

Upaya Saya Mengurangi Perubahan Iklim


Masih mau tinggal lebih lama di Bumi? Tentu saja! Bumi satu-satunya planet yang dihuni oleh mahluk hidup. Sebab itu sebagai mahluk paling berakal di antara mahluk Tuhan lainnya, #UntukmuBumiku saya mengambil langkah mudah untuk mengurangi perubahan iklim dari rumah. Sekaligus bagian dari #TeamUpforImpact buat lingkungan sekitar. 

Langkah pertama, saya memilih naik transportasi umum dibandingkan kendaraan pribadi. Memang ada motor, cuma digunakan oleh suami untuk kerja. Selain mengurangi jejak karbondioksida di udara, naik transportasi umum seperti comutter line atau MRT juga irit ongkos. Tiket Depok-Jakarta hanya Rp4.000,- dan ongkos MRT Rp5.000,- dari Sudirman-Senayan. Transportasi umum zaman sekarang sudah bagus-bagus & fasilitasnya nyaman. 

Transportasi umum zaman sekarang sudah lebih nyaman

Menggunakan transportasi umum mengurangi kadar CO2 naik ke atmosfer, sehingga enggak terjadi kenaikan suhu. Otomatis enggak bikin kegerahan sampai keringat bercucuran. Saya masih bisa ngadem di dalam rumah tanpa harus ada AC. 

Kalau jajan di luar bawa wadah dari rumah. Apalagi sedang bulan Ramadan banyak tukang jualan makanan. Sebisa mungkin beli makanan yang bisa ditampung oleh wadah yang kita bawa. Saya biasanya bawa wadah cukup besar biar nampung banyak makanan. Saya melakukan hal itu terinspirasi dari teteh Siska Nirmala pemilik akun Instagram @zerowasteadventure. Gaya hidup nol sampahnya cukup mudah diikuti. Ditambah konsep zero waste-nya itu diterapkan saat berkegiatan alam bebas seperti mendaki gunung. Membawa wadah makanan dari rumah sama saja mengurangi penggunaan plastik, karet gelang atau kertas pembungkus.

Bawa wadah makanan tiap jajan di luar

Mengurangi penggunaan popok sekali pakai dan beralih ke clodi. Sebenarnya ini masih jadi PR besar saya di rumah karena belum sepenuhnya saya lepas memakaikan popok sekali pakai kepada si kecil. Ada rasa sedikit penyesalan jika membuang popok bekas itu. Maka pad malam hari saja gunakan pospak dan siang memakai clodi. Perlahan saya membiasakan diri untuk mengurangi sampah dari rumah. Saya lakukan ini karena melihat postingan Instagram teman yang memakaikan clodi kepada bayinya. Saya jadi mau coba. Memang ekonomis dari segi pengeluaran, enggak repot beli pospak tiap bulan. Bayi saya juga nyaman saja dipakaikan clodi. 

Sampah popok bekas sekali pakai jika diolah dengan baik bisa bernilai ekonomis. Sampah popok bayi bekas pakai bisa didaur ulang menjadi pupuk cair, kertas daur ulang dan refuse plastic fuel (RFC). Bayangkan jika dalam sebulan saya kumpulkan popok bayi bekas pakai sebanyak 60 (sehari 2 popok), berarti bisa berhemat uang sekitar 100 ribuan (1 bal popok harga 50 ribuan). Sampah popok ini dapat diserahkan dan diolah ke bank sampah terdekat. 

Perubahan iklim memang sudah terjadi dan dampaknya sudah kita rasakan bersama. Mau sampai kapan cuek soal ini? Saya berusaha terus untuk menerapkan gaya hidup minim sampah dari rumah. Setidaknya tukang sampah enggak berat bawa sampah dari tong sampah saya. Yuk, sama-sama menjaga Bumi tetap nyaman untuk ditinggali. Alam semesta tetap bersahabat untuk dinikmati. 


***

1 komentar

  1. kalau beli beli panganan kayak salad buah di luar, aku usahakan membawa wadah sendiri, lebih praktis juga sebenernya

    BalasHapus