Telisik Budaya Bogor, Abadikan Momen Perjalanan Lewat Foto dan Tulisan

20 komentar
"Gue nggak boleh kurus abis jalan-jalan", kata Memez

"Beneran ya Bu 10 menit lagi?" tanya tegas Setyaningsih

Beberapa celetukan dari teman-teman yang ikut Telisik Kampung Budaya Sindangbarang bersama Indonesia Corners. Celetukan yang membuat kami punya pengalaman seru dari jalan-jalan ini.

Rombongan Telisik Budaya Bogor
Foto @setianingsih_sumaryo

Mendatangi kota Bogor bukan hal baru bagi saya. Hampir tiap ada waktu luang atau bahkan sengaja melanjutkan tidur karena terlanjur lewat stasiun Depok Baru, saya singgah ke kota hujan ini. Namun seringnya saya singgah ke tempat terdekat stasiun saja. Kalau sedang malas keluar stasiun, saya hanya duduk di pinggir tembok dekat minimarket. 

Sabtu, 24 Agustus 2019 lalu ada yang berbeda dari kedatangan saya ke kota Bogor. Saya ikut jalan-jalan bareng komunitas Indonesia Corners ke Kampung Budaya Sindangbarang. Sebuah tempat wisata budaya di daerah Bogor Barat. Kalau kamu cari di google map juga mudah menemukannya. Untuk pertama kalinya saya datang ke tempat ini.

Beberapa hari sebelum acara, diadakan give away untuk 3 orang pemenang. Nggak mau kelewatan kesempatan itu, saya ikutan dong. Kalau kuis memang bikin H2C alias harap-harap cemas. Barangkali beruntung dapat free workshop senilai Rp 250.000.

Setelah tanya di grup WA, eh nggak tahunya sudah diumumkan pemenangnya dan akun IG saya @nurul_gie nggak disebut. Fine, saya belum beruntung. Mungkin memang saya harus modal dulu kali ya buat ikutan workshop ini. Ora opo-opo, atas izin suami saya bisa ikutan.

Dalam angkot situesyen
Dok.foto Nyi Penengah

Banyak momen yang saya dapatkan dari perjalanan ini. Bahkan yang belum pernah saya dapati sebelumnya. Beberapa kali turun angkot karena jalanan yang menanjak, melihat aksi tarian dari anak-anak kampung setempat bahkan mencium aroma jengkol langsung dari pohonnya. Hmm...sedap rasanya.

Sekitar jam 6 saya menuju stasiun Depok Baru. Depok - Bogor kira-kira memakan waktu 30 menit menggunakan comutterline. Tidak sengaja saya bertemu mba Nunu Halimi yang juga ikut jalan-jalan ini. Setidaknya kalau saya ditinggal sama rombongan, ada temannya. 

Lepas dari pintu keluar stasiun saya bertemu dengan para peserta yang lain. Beberapa orang ada yang sudah kenal karena sama-sama blogger, sisanya benar-benar baru ketemu di acara ini. Asyik, nambah teman, nambah follower juga. LOL.

Setelah semua berkumpul, sekitar jam setengah 8 kami berangkat ke lokasi tujuan menggunakan angkot. Langsung boyong 2 angkot untuk rombongan jalan-jalan ini. Saya tidak begitu memperhatikan rute perjalanan karena asyik ngobrol. Serunya jalan-jalan tanpa beban tugas tuh kayak gini. Benar-benar plong.


Selamat Datang di Kampung Budaya Sindangbarang




Peta area Kampung Budaya Sindangbarang

Sekitar satu jam perjalanan menuju Kampung Budaya Sindangbarang yang berliku-liku. Beberapa kali hampir salah jalan sampai turun dari angkot karena nggak kuat jalan menanjak. Kalau penumpangnya saya saja mungkin kuat angkotnya.

Finally, sampai juga di Kampung Budaya Sindangbarang. Disambut dengan alunan angklung yang dimainkan oleh beberapa ibu-ibu dan tanah lapang hijau yang luas. Sekitarnya di kelilingi rumah-rumah terbuat dari kayu yang akhirnya saya ketahui namanya Leuit (lumbung padi).

Beberapa tim dari Indonesia Corners juga sudah ada yang datang. Ada Uni Raiyani dan mba Evi Indrawanto. Sambutan yang hangat dari tempat budaya yang masih asri. Mata saya pun tak henti melihat sekitar. Rumput lapangan yang hijau dan udara yang sejuk menjadi penawar dari kepenatan saya.

Kampung Budaya Sindangbarang termasuk kampung tertua di wilayah Bogor. Sindangbarang sudah ada sejak kerajaan Sunda di abad ke XII. Tempat gemblengan atau latihan para satria kerajaan. Terletak di Desa Pasir Eurih, Kecamatan Tamansari, Kab. Bogor, Jawa Barat atau sekitar 5 km jaraknya dari kota Bogor.

Bahagianya lihat padi bertebaran

Nama Sindangbarang dikenal dalam babad Pakuan atau Pajajaran sebagai salah satu daerah penting kerajaan Sunda dan Pajajaran. Maka itu, Sindangbarang terdapat salah satu keraton kerajaan sebagai tempat tinggal istri Prabu Siliwangi bernama Dewi Kentring Manik Mayang Sunda.

Berada di area Kampung Budaya Sindangbarang terasa banget hidup di desa tempo dulu. Rumahnya masih terbuat dari bilik bambu, kebon jagung terbentang luas, bisa duduk bersantai di saung sambil melamun nikmati semilir angin. Aduh, adem banget deh.

Uniknya lagi di sini ada rumah lumbung padi (Leuit), tempat penyimpanan gabah padi dari cuaca. Bentuknya seperti rumah tradisional Tana Toraja. Atapnya berbentuk segitiga dan ditutupi oleh ijuk hitam. Saat itu sedang ada renovasi yang dikerjakan oleh beberapa pekerja.

Ada bale besar yang dijadikan tempat kami berkumpul. Kalau nggak salah namanya Bale Pesanggerahan. Tempatnya luas bisa menampung sekitar 100 orang. Memang cocok buat acara ngumpul rame-rame. Tidak ada jendela di sekitarnya, jadi bisa merasakan tiupan angin dari berbagai arah.

Workshop Photography, Abadikan Momen Foto dengan Angle Menarik



Raiyani Muharramah
Fotografer Profesional

Sebelum mengeksplor lebih jauh tentang ada apa saja di Kampung Budaya Sindangbarang ini, sesuai dengan tema acara yaitu travel photography and blog workshop, maka ilmu photography dijelaskan oleh Raiyani Muharramah. Kalau gugling ketik nama beliau langsung keluar di Wikipedia. Coba saja. 

Ini pertemuan saya yang ke 2 kalinya dengan wanita kelahiran Medan ini. Sebelumnya pernah ketemu di travel blog and photography workshop di Wok a Sec restoran. Sepintas melihat memang mirip Bu dosen Donna Imelda. Kembar yang tertukar atau tak dianggap?

Biasa dipanggil Uni Rayi, ia sudah berpengalaman di bidang motret memotret sejak tahun 1995. OMG, saya baru TK saat itu tapi dia sudah pegang kamera. Ketahuan deh usianya terpaut jauh berapa tahun. Namun pengalaman soal foto jangan dibilang deh, minder kalian nanti.

Dari pemaparannya saya jadi paham menggunakan kamera yang menghasilkan foto yang bagus. Terutama dalam memilih angle (sudut pengambilan gambar) yaitu low angle (dari bawah), high angle (dari atas) eye angle (sejajar). Kayak menulis saja, kamu mau ambil sudut pandang apa dan siapa untuk dijelaskan.

3 hal yang mesti diperhatikan dalam memotret
Dok.foto Dita Indrihapsari

Katanya dia suka gregetan kalau baca artikel blogger tapi fotonya kurang mantep. "Harusnya angle fotonya bisa begini nih," ucapnya. Kalau insting photographer handal memang beda ya. Bisa tahu posisi pengambilan gambar yang bagus meskipun nggak ada di tempat itu.

Ia menunjukkan beberapa foto dari berbagai angle yang diambil. Memang terlihat beda jika suatu objek difoto dengan eskplor angle. Kelihatannya tuh hasil fotonya jadi lebih keren atau instagramable istilah kekiniannya. Engagement dan impression instagram jadi tinggi deh.

Saya yang masih awam mengenai bidang fotografi, sedikit lebih tahu bagaimana pengambilan gambar dengan kamera. Jujur ya, saya sempat minder ketika teman-teman lainnya mengeluarkan kamera andalan masing-masing. "Gue doang nih kayaknya yang nggak punya kamera canggih dan ambil foto pakai hape," dalam hati saya begitu.

Ternyata isi koper kecil yang ditenteng-tenteng sama mba Donna dari stasiun Bogor itu isinya beberapa kamera mirorrless Fujifilm yang dipinjamkan untuk peserta. Wah, kesempatan saya untuk gunakan kamera itu. Deg-degan juga sih pakainya karena takut ada apa-apa. Beli nggak, gantiin iya nanti. LOL.

Terlalu serius saya dengerin materi workshop

Saya sangat berterima kasih sekali dengan panitia acara yang mau meminjamkan kamera Fujifilmnya. Salutnya lagi tidak ada penahanan jaminan dari peserta, cuma didata saja nama dan jenis kamera yang digunakan. Makanya saya sungguh hati-hati banget menggunakannya.

Kak Salman meminjamkan kamera Fujifilm X-T100. Saat serah terima kamera, saya deg-degan bukan main. Norak ya, emang. Maklum jarang pegang kamera canggih kayak gitu. Masih kaku. Palingan juga megangnya saat dimintai tolong teman untuk memotret. Saya pakai kamera tersebut bersama Kurnia Amelia. Padahal dia bawa kamera sendiri, tapi nggak mau dipakai. Curang.

Warna body kameranya full black, terkesan gagah dan elegan. Benar - benar kamera mirorrless idaman para pekerja content creator seperti blogger dan vlogger. Menunjang konten jadi lebih eksklusif. Saya ingat perkataan Uni Rayi, foto terlihat bagus dari kamera apapun, tergantung siapa yang memotretnya. Sering terjadi pada saya, foto saya yang dipotret sama orang lain hasilnya kurang bagus, tidak seperti sebaliknya. Bete kan.

Tari Rampak Gendang

Parebut Seeng

Tari Merak

Barudak Kaulinan

Angklung Gubrak

Silat Cimande

Tibalah saatnya semua peserta workshop diajak untuk melihat penampilan dari beberapa atraksi kesenian seperti : 

1. Tari rampak gendang
2. Barudak kaulinan
3. Tari merak
4. Angklung gubrak
5. Parebut seeng
6. Silat Cimande

Di saat mereka tampil, kami bersiap-siap mengambil momen gambar dari kamera andalan masing-masing. Tentunya mempraktekkan angle-angle yang disebutkan oleh Uni Rayi. Bahkan ada yang rela tiarap demi low angle yang mantap. Sebuah usaha yang maksimal.

Atraksi demi atraksi disajikan oleh para seniman muda. Bahkan ada penari cilik dengan pipi tembemnya yang menjadi pusat perhatian peserta. Beberapa kali wajahnya jadi sasaran kamera dan di-posting di instagram. Gadis kelas 2 SD itu bernama Lala.

Kampung Budaya Sindangbarang
Jln. Endang Sumawijaya RT.02/08 Sindangbarang, Dukuh Menteng,
Desa Pasir Eurih, Kec.Tamansari, Pasireurih, Bogor Jawa Barat 16631

Telp. 0813-1818-7573

www.kp-sindangbarang.com

Instagram : @kampungsindangbarang
Facebook : kampung budaya sindangbarang

Abadikan Momen Perjalanan dengan Tulisan


Lelah dari bertiarap, jongkok, berdiri, duduk, lari sana sini demi sebuah angle foto yang apik, akhirnya kami pun istirahat makan siang dan sholat Dzuhur. 

Untuk mengejar waktu ke destinasi berikutnya, mbak Donna Imelda memberikan workshop mengenai bagaimana menulis perjalanan kita menjadi indah dan enak dibaca oleh semua orang. Ayo siapa yang suka jalan-jalan dan menuangkannya dalam tulisan? Tips dari mbak Donna cocok nih.

Donna Imelda
Travel Blogger


Pengalaman jalan-jalan ibu 2 orang anak ini sudah banyak sekali. Sebut saja negara Nepal dan Turki dan beberapa wilayah Indonesia seperti Sumbawa, Yogyakarta, Raja Ampat, serta belum lama ini ke Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. 

Presentasi yang beliau jabarkan itu bermanfaat semua untuk menulis cerita perjalanan jadi menarik. Cuma saya ambil poin-poin pentingnya saja ya. Intinya menuangkan suatu perjalanan ke dalam tulisan akan menarik kalau mengetahui konsep menulisnya.

Travel writing tidak menuntut kita menjadi pejalan yang hebat, namun pejalan yang hebat sekalipun harus belajar tentang konsep menulis yang baik, Yudasmoro - Travel Writer

Kutipan yang disampaikan mba Donna di atas itu benar juga. Semua orang bisa jadi traveler atau bisa jadi petualang hebat. Tapi belum tentu bisa menuangkan ide dan cerita yang menempel di kepala ke dalam sebuah tulisan. Nggak usah panjang-panjang, 100 kata saja dulu di caption foto instagram atau facebook.

Serius mendengarkan presentasi mba Donna

Saya jadi ingat kata-kata kak Arif Rahman (travel bloggerworkshop bersama hiip Academy beberapa waktu lalu.  Banyak orang mengatakan jadi travel blogger itu enak bisa jalan-jalan gratis. Jadi, blogger gado-gado (lifestyle blogger) juga enak kok, banyak isinya dan pedesnya mau level berapa. LOL.

Tugas travel blogger itu banyak banget. Ia merangkap sebagai traveler, writer, blogger videographer, researcher, planner, vlogger. Sanggup nggak garap kerjaan itu semua?Kalau saya sih belum sanggup ya. Masih tahu diri dengan kemampuan sendiri.

Ada beberapa hal yang bisa diterapkan dalam menulis cerita perjalanan agar lebih terkonsep dan menarik.


Temukan Keunikan 
Satu hal unik yang saya temukan di Kampung Budaya Sindangbarang yaitu Enggrang. Di Depok sudah nggak ada lagi anak-anak yang main permainan tradisional begitu. Saya coba berkali-kali naik Enggrang tapi gagal terus.

"Aduh, susah juga ya," kata saya.

"Diinjek Rul, tapak kayunya," kata Amel.

"Susah Mel," kata saya sambil terus coba.

Gaya doang difoto padahal nggak bisa
 main enggrang

Amel pun mencoba taiki Enggrang itu, hasilnya sama saja dia nggak bisa juga. Mba Nunu Halimi pun menghampiri.

"Coba sini aku pinjem. Dulu kecil aku main ini," kata mba Nunu.

Hasilnya sama juga dia nggak bisa jalan di atas bambu Enggrang. Sulit juga ya kalau nggak terbiasa. Kelihatannya sih gampang ya, tapi nggak semudah kata berucap. Ini unik bagi saya karena masih ada anak-anak di era millenial begini yang bisa main Enggrang.

The Cycle 
Persiapan keberangkatan, tiket dan akomodasi,  seleksi foto serta menulis artikel jadi bagian dari menulis cerita yang menarik.

Beberapa hal di atas sudah saya pikirkan sebelum memutuskan untuk ikut perjalanan ke Kampung Budaya Sindangbarang. Alhamdulillah comutterline lancar saat berangkat dari Depok dan akomodasi selama mengikuti acara sudah beres diatur sama panitia.

Memilih foto yang bagus sudah otomatis dalam kepala saya. Apalagi sudah dapat ilmu photography dari mastahnya. Setidaknya foto saya tidak blur untuk mewakili artikel yang saya tulis dari jalan-jalan ini.

Persiapan
Buat storyline dan riset. Storyline itu kayak kerangkanya menulis, bikin brainstorming lalu dipecah ke dalam sub-sub tema. Biar tulisannya terstruktur dengan rapih. Penerapan SEO juga ada di sini.

Pentingnya riset supaya tulisan kita jadi lebih berbobot. Coba cari berita terbaru dari daerah setempat sebelum berangkat, lalu aplikasikan saat berada di sana. Riset pertama saya tentang Kampung Budaya Sindangbarang yaitu media sosialnya. Saya cari di instagram melalui hastag #kampungbudayasindangbarang, dengan mudah saya temukan akun IG dan sedikit informasinya.

Saat di Lokasi
Hal utama apa yang kamu lakukan jika di tiba di lokasi setempat? Jujur, saya langsung update IG stories saat disambut oleh para ibu-ibu dengan angklung gubraknya. Untungnya mereka nggak marah, mungkin karena sudah terbiasa melihat pengunjung menyorotkan kamera ke mereka.

Namun ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan seenaknya. Usahakan kalau sampai di lokasi tujuan taruh kamera dan gadget lainnya sebentar. Rasakan atmosfer udara lingkungan sekitar dengan kemampuan panca indera. Saya merasa sejuk dan tenang berada di Kampung Budaya Sindangbarang.

Membaur bersama ara ibu pemain angklung gubrak

Kebetulan saat itu sinyal hp muncul hilang, jadi nggak begitu perhatikan notifikasi yang masuk. Saya bisa duduk santai di saung sambil melihat petani jagung yang mengecek jagungnya, merasakan dinginnya air dari kamar mandi dan nikmatnya bajigur dengan cemilan ubi, kacang, dan pisang rebus.

Berbaur dan wawancara bisa menunjang artikel kita jadi menarik. Usahakan jangan terlihat seperti "meneror" saat bertanya, membuat mereka jadi nggak nyaman. Ajak ngobrol yang santai dulu, basa basi yang dapat membuka jalan untuk mendapatkan info yang kita mau. Jangan lupa tetap optimalkan kamera untuk dokumentasi.

Angle atau Sudut Cerita 
Nggak cuma foto aja yang punya angle, tapi  cerita juga harus punya sudut pandang cerita yang menarik. Biar apa? Biar view-nya tinggi 😃.

Melakukan perjalanan pasti banyak hal yang ditemui. Misalnya ketemu makanan khas daerah, festival, budaya atau tips panduan perjalanan. Pilih yang menjadi fokus utama sudut pandang ceritamu.

Kalau saya  menulis artikel ini mengambil angle tentang panduan perjalanan. Karena saya orangnya kronologis kalau menulis. Dari awal sampai akhir saya bisa ceritakan. Biar lengkap gitu maksudnya. Itulah bedanya blogger kalau menulis panjang kata-katanya, asal bermanfaat.

Struktur Tulisan
Terdiri dari judul, lead atau paragraf pertama, badan tulisan dan penutup.

Ibarat rumah,  judul itu adalah pintunya. Make it simple, berikan judul yang sederhana namun menarik bagi pembaca. Buat judul jangan panjang-panjang dan tetap ada unsur kata kuncinya.

Siapa yang suka sulit bikin paragraf utama saat menulis? Ini memang satu kesulitan yang saya alami. Sampai mikir, kalimatnya bakal nyambung nggak ya sama isinya?

Kalau lead bisa diatasi, tinggal meneruskan tulisan dari paragraf ke paragraf. Tiap paragraf jangan sampai kepanjangan, ini masih sering saya temui di artikel teman blogger. Satu paragraf minimal 5-6 kalimat atau baris. Hindari typo karena mengganggu bacaan pembaca. Makanya cek & ricek lagi sebelum publish.

Gunakan kata-kata yang baku tapi santai. Seakan pembaca bisa menyelami tulisan kita dan nggak terkesan menggurui seperti ada percakapan dua arah. Pedoman EYD perlu diperhatikan juga ya.

Foto jadi penunjang cerita lebih menarik. Seperti yang Uni Rayi katakan biar lebih greget gitu ceritanya. Cantumkan caption di bawah foto supaya pembaca tahu apa atau siapa di dalam foto. Kalau pakai foto orang lain usahakan cantumkan sumbernya dari mana.

Susah bukanya, susah juga nutupnya. Memang dilema buat tulisan artikel yang menarik. Kalau sulit mengacu pada kesimpulan yang berupa topik cerita. Biar nggak hilang arah tulisannya. Supaya ada interaksi dengan pembaca biasanya di akhir kalimat sempilkan kalimat pertanyaan, biar banyak yang komen.


Berkunjung ke Rumah Sutera


Banner tanda Rumah Sutera
di pintu masuk

Setelah dapat materi dari mba Donna Imelda, rombongan workshop bergegas ke destinasi berikutnya yaitu Rumah Sutera. Bukan rumah Ona Sutera si penyanyi dangdut.

Selama perjalanan banyak keluh kesah yang dirasakan oleh peserta. Beberapa kali naik turun angkot yang nggak kuat nanjak sehingga kami pun berjalan setengah mendaki jalanan aspal. Benar-benar diuji paru-paru ini. 

Sedang asyiknya jalan, saya menghirup bau jengkol langsung dari pohonnya yang menyengat hidung. Rasa lapar pun hinggap di otak. Membayangkan enaknya sambil di  disantap dengan nasi hangat.

"Beneran ya Bu jaraknya dekat dari jalan besar?" tanya saya kepada seorang ibu yang keluar dari perkebunan.

"Iya, tinggal ikuti jalan ini. Nanti belok kanan dan ketemu jalan besar," jawab si ibu.

Beberapa peserta terlihat mulai kelelahan karena jalan aspal yang menanjak tadi. Kalau saya sih sudah biasa yang nanjak-nanjak gitu. Gunung Prau saja bisa saya daki selama 4 jam. #shombongmat. Akhirnya kami bertemu dengan angkot dan mengantarkan ke Rumah Sutera.

Sampai di Rumah Sutera disambut oleh Pak Ian Sutera, supaya mudah mengenalnya. Ia menjadi pemandu dari perkebunan murbei seluas 1 hektar, tempat ulat sutra, pencabutan kokon, pabrik benang sutra, ruang alat tenun bukan mesin, dan galeri sutra. Multitasking sekali Pak Ian.

Pak Ian
Pemandu multitasking Rumah Sutera

Oh ya kalau cek di Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata yang benar itu Sutra yaitu sejenis benang halus dan lembut yang berasal dari kepompong ulat sutra (Bombyx mori). Ulat sutra ini memakan daun murbei dari Thailand. 

Sutra menjadi hal yang unik bagi saya karena pertama kalinya melihat langsung proses demi proses pembuatannya. Pak Irwan, seorang pekerja pemintal benang menjadi kain sutera sudah 9 tahun bekerja. Sebuah dedikasi tinggi dalam bidang profesioanalisme. 

Saya jadi paham alasan dibalik mahalnya harga kain sutra. Karena proses ngebuatnya itu nggak gampang. Pak Irwan harus mengecek helaian demi helaian benang agar tidak kusut saat di tenun. Tangan dan kakinya harus kooperatif mengendalikan alat tenun bukan mesin.

Irwan, perajin kain sutra

Selembar kain sutra dihargai Rp 180 ribuan itu sudah murah sekali dibandingkan proses pembuatannya. Kayaknya kelewatan kalau ada orang menawar harga terpaut murah. Suruh aja bikin sendiri kalau begitu.

Di galeri sutera saya membeli sekotak teh dari daun murbei seharga Rp 20.000. Di galeri sutera itu ada beragam kain sutra yang sudah jadi kain, selendang dan pakaian. Kokonnya ternyata bermanfaat untuk scrub atau peeling di wajah.

(Bukan) pemetik daun murbei

"Pinjem duit lu Rul buat bayar teh murbei. Gue nggak bawa duit cash nih," pinta Amel.

"Ah elu kebiasaan. Nih 20 ribu, " kata saya sambil kasih uangnya.

Kayaknya semua peserta membawa oleh-oleh dari Rumah Sutera. Sayangnya, sedikit sekali barang-barang hasil sutra di galeri itu. Mungkin laku terjual atau sedang dalam produksi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore. Rombongan pun kembali ke Kampung Budaya Sindangbarang untuk mengambil barang bawaan. Bagi kalian yang ingin mampir ke Rumah Sutera bisa ke alamat di bawah ini.

Teh Murbei
Olahan produksi Rumah Sutera
Difoto sama Arief Pokto

Rumah Sutera Alam
Jl. Ciapus Raya KM.8 No.100, Pasireurih, Kec. Tamansari, Bogor, Jawa Barat 16610
(0251) 8388227
https://maps.app.goo.gl/im9U3yPv9oEHiyte9


Pengalaman Pakai Kamera Fujifilm X-T100


Saya sangat berharap punya kamera kece seperti Fujifilm X-T100. Biar foto-foto di blog dan media sosial saya bagus sehingga follower dan engagement rate naik terus. Itulah fenomena yang terjadi saat ini di dunia digital content creator.

Siapa sih yang nggak tahu Fujifilm? Kenangan saya dengan merek kamera satu ini begitu melekat. Dulu saya sebutnya tustel, isinya 1 rol kamera isi 36 bonus 2. Kalau ada yang kebakar rol negatifnya keselnya minta ampun. Kalau mau cuci cetak, ditandai silang pakai spidol di plastiknya.

Sekarang banyak bermunculan kamera digital berbentuk poket, DSLR atau mirorrless. Di kesempatan workshop ini saya menggunakan kamera mirorrless Fujifilm X-T100. Inilah kamera yang buat saya terlihat seperti fotografer profesional. Bentuknya hampir sama dengan Fujifilm X-T20. Fujifilm X-T100 termasuk kamera entry-level atau kamera terbaik bagi pemula. Berarti saya cocok pakai kamera ini.


Fujifilm X-T100
Retro dan Ringan
Jendela Bidik Elektronik
LCD 3 Way Tilt 
Pengoperasian Layar Sentuh
Sensor 24,2 M APS - C CMOS
Lensa XC 15-45 mm f3.5-5.6 OIS PZ
Bluetooth Low Energy & Wi Fi
ISO Auto (200-12800), expands to 100-51200
Harga sekitar Rp 9 jutaan


Saat pertama kali lihat dan pegang kamera ini rasanya langsung jatuh cinta. Melihat warna hitamnya membuat kesan yang tangguh, cantik dan elegan. Selama memotret, kamera ini tak lepas dari leher saya. Nggak bikin pegel juga karena beratnya sekitar . Fujifilm X-T100 memang cocok buat yang suka jalan-jalan.

Lensa bawaannya 15-45 mm, ini lensa terbaru dari Fuji. Memiliki power zoom saat mengambil gambar yang diinginkan dari jarak jauh. Kalau mau ngezoom, nggak usah diputer kayak lensa zoom pada umumnya. Efek bokehnya juga dapet dari kamera ini.

Kamera ini punya layar flip yang memudahkan mengambil gambar. Kalau pakai low angle, nggak perlu tiarap lagi. Layarnya bisa touchscreen, artinya selain bisa memotret dengan menyentuh layarnya, bisa juga memilih titik fokus objek yang mau difoto. Bagi yang suka nge-vlog atau swafoto, Fujifilm X-T100 cucok deh.

Kece banget foto bareng Fujifilm X-T100

Warna yang tersedia ada 3 yaitu black, silver dan champagne gold. Setelah saya kepoin warna yang lain nggak kalah kerennya juga lho. Pokoknya jepret foto pakai kamera ini gaya banget deh. Saya benar-benar jatuh cinta sama kamera ini. Semoga takdir menjodohkan saya dengan Fujifilm X-T100.

Jalan-jalan telisik budaya Bogor kali ini seru banget. Dari tempatnya, materi workshop-nya, pembicaranya, pesertanya, unexpected moment-nya, dan kamera Fujifilm yang mengabadikan tiap momen dari perjalanan ini. 

Banyak hal yang bisa saya ambil dari perjalanan ini. Saya bisa tahu daerah wisata budaya yang bagus di Bogor, rumah yang membudidayakan ulat sutera, belajar memotret dari ahlinya dan bisa kopi darat dengan teman-teman blogger yang biasanya berjumpa di dunia maya. Celetukan-celetukan spontan mereka yang buat suasana jadi menyenangkan.

Kalau Indonesia Corners bikin short trip kayak gini lagi, saya pasti ikutan. Nggak perlu nunggu menang give away kali ya, haha. Semoga sudah punya kamera andalan yang mumpuni menangkap segala situasi. Kira-kira kampung budaya mana lagi ya yang bisa dikunjungi? Berbagi info yuk!




***

20 komentar

  1. asyik ya mbak Nurul pengalaman kita ikut workshop ini, mau banget deh ikutan lagi
    tulisannya keran banget, good luck ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seru ya jalan-jalannya mba. Aku juga kalau ada kesempatan kayak gini mau ikut lagi. Good luck for you too.

      Hapus
  2. Wuiih seru ya, rul. Itu jengkol nggak dipetik buat diolah.. hahaha.. di pohon aja dah sedep rasanya, gimana kalau diolah jadi sambal balado.. yummy.. btw, kalau memang mau hasil bagus, kita kudu ngerogoh kocek untuk dapat ilmu yg mumpuni ya.

    BalasHapus
  3. Bagus mbak fotonya yang perebut seeng, dapat momen wajahnya yang ekspresif, duuuh pengin banget itu kamera fuji

    BalasHapus
  4. Ilmu dari Uni Rai dan bunda Donna emang keren. Jadi nyesel kemarin ngga ikutan workshop mereka.

    BalasHapus
  5. Beughh ini acaranya mantab jiwa banget, kakaaa
    Dapat ilmu, iya
    Dapat seseruan ama bloggers, iya
    Dapat traveling asyik, iyaa

    Pol kerennya :D
    --bukanbocahbiasa(dot)com--

    BalasHapus
  6. Keren banget kameranya mbak, hasil fotonya maksimal, dengan dimensi yang cukup nyaman untuk di tangan, jadi bisa hunting foto dengan leebih fokus.

    BalasHapus
  7. Seru ya belajar foto langsung di alam terbuka gini bikin segar dan bergairah deh apalagi ada mentor2nya yang keren ya

    BalasHapus
  8. Aku Jadi kepengen juga berkunjung ke kampung budaya ini karena menarik sekali ya untuk mempelajari budaya

    BalasHapus
  9. Duh kameranya bikin ngiler yaakk...ikutan acara ini emang banyak banget manfaatnya.. udah bisa jalan2.. eh ktmu follower baru pula

    BalasHapus
  10. Aku mupeng liat foto2 acara ini bersliweran di linimasa temen2 blogger, sayangnya waktu itu pas blm bisa daftar krn ada keperluan...semoga taun depan ada lagi

    BalasHapus
  11. Seneng banget yaaa, dapat ilmu dan pengalaman berharga, dapat me time berupa silaturahmi bersama kawan seprofesi. Membawa pulang banyak foto apik dan cerita tentang kebudayaan. Senangnyaaaaa.

    BalasHapus
  12. Ya ampun buk, ini acaranya keren banget.
    Dan lagi salut sama anak-anak dan mereka yang tampil, mereka sudah menjadi generasi yang melestarikan budayanya.

    BalasHapus
  13. Semoga tahun depan bisa kemari lagi hahaha ngajakin suami biar tahu kalau sindangbarang itu keren dan kaya akan budaya

    BalasHapus
  14. Acaranya keren banget pastinya informasi banyak yang didapatkan di event tersebut. Salah satunya mengenai budaya di sindangbarang

    BalasHapus
  15. semoga kesampaian ya mba punya kamera digitalnya, biar kontennya makin bagus.
    btw, kalau ada acara bagus, kabar2 dong mba, biar bisa ikutan juga. hehe

    BalasHapus
  16. Jadi gak bisa move on dari kampung Sindang barang, budayanya dan nuansa pedesaan sangat istimewa sekali. Jarang-jarang ada kampung seperti ini.

    BalasHapus
  17. Bahagia ya Mbak Nurul ketemu teman-teman dan nyobain kamera Fuji..

    BalasHapus