Dari Bunker Stasiun ke Pelabuhan, Wisata Sejarah ke Tanjung Priok

Tidak ada komentar
Apa yang terpikirkan jika menyebut daerah Tanjung Priok? Jawabannya bisa pelabuhan, banyak mobil kontainer atau rumah Ahmad Syahroni. Pasti pilihan terakhir langsung teringat ya. Ternyata selain itu ada 2 tempat yang belum banyak orang tahu tentang sejarahnya, yaitu Stasiun Tanjung Priok dan Museum Maritim Indonesia.

Beberapa kali saya pernah naik commuter line dari stasiun Tanjung Priok. Waktu itu pulang dari rumah teman. Tapi cuma sekadar naik kereta saja, tapi nggak tahu tentang sejarahnya. Dalam memperingati Hari Pariwisata Dunia dan Hari Maritim Nasional, saya berkesempatan ikut Tur Spesial bersama Wisata Kreatif Jakarta (WKJ) pada hari Rabu, 8 Oktober 2025 bersama 30an peserta lainnya. 

Jam setengah 8 pagi saya sudah berangkat dari stasiun Depok Baru menggunakan commuter line jurusan Jakarta Kota dan janjian ketemu Bubu Dita di sana. Lalu lanjut naik kereta jurusan Tanjung Priok dan hanya  melewati 3 stasiun (Kampung Bandan, Ancol, Tanjung Priok). Memang ketua tur WKJ, mbak Ira Latief menyebutkan titik kumpul  di Stasiun Tanjung Priok jam 09.30 WIB. Saat saya turun kereta ada beberapa peserta yang sudah tiba. 

Intip Bunker di Stasiun Tanjung Priok

Setelah semua peserta berkumpul, mba Ira Latief memberikan kata sambutan. Ia dan mba Mutia menjadi pemandu di spesial tur ini. Peserta dibagi 2 kelompok bernama Crazy Rich dan Tajir Melintir. Namanya ketahuan ya merajuk ke siapa, hehe. Saya bersama Bubu Dita, April Hamsa, Widia Purnawita, Selvie Juwanti dll ada di grup Crazy Rich. Biar nggak bentrok dan terlalu ramai, maka tiap kelompok dibedakan arahnya. 

Stasiun Tanjung Priok dibangun sejak jaman kolonial Belanda dengan 2 tahap yaitu pada tahun 1885 untuk distribusi komoditas ke pelabuhan dan dibangun lagi tahun 1914.  Dirancang oleh Ir. C.W. Koch dari Staatsspoorwegen, nama perusahaan kereta api di Hindia Belanda berfungsi sebagai gerbang utama antara pelabuhan dan kota. Lalu tahun 1925 stasiun diresmikan bersamaan dengan kereta listrik pertama. 

Atapnya yang tinggi dan melengkung mirip dengan desain stasiun besar di Amsterdam. Wajar saja kalau mirip karena perancangnya orang Belanda. Meskipun belum pernah ke sana, anggap aja stasiun Tanjung Priok ada di Eropa. Stasiun ini sekarang sebagai cagar budaya berdasarkan SK Menbudpar No. PM 13/PW 007/MKP/05 tanggal 25 April 2005.

Ada 2 peron dan 4 jalur kereta. Kami bisa masuk ke peron yang ada kereta peti kemasnya. Karena hanya 1 peron dan 1 jalur yang aktif digunakan untuk penumpang. Tiap 30 menit sekali kereta beroperasi dari dan ke stasiun Tanjung Priok. Makanya mesti tahu jadwal kalau mau naik atau turun di sini. Saya dan peserta lainnya berpuas diri mengambil foto dekat kereta peti kemas.

Dulu di atas atap stasiun ada penginapan bagi orang-orang yang singgah di sini. Namun sekarang sudah nggak digunakan lagi. Katanya sih jadi tempat istirahat pegawai stasiun. Lalu, di sisi kanan atau kiri terdapat ruang tunggu yang terlihat sedang direnovasi. Dari pintu masuk stasiun sebelah kiri untuk rakyat biasa dan sebelah kanan untuk orang kaya pada zaman Belanda. Bukti adanya kesenjangan sosial dari ruangan tersebut. 

Saat menunggu kereta di ruang tunggu rakyat biasa penumpangnya duduk di lantai, sedangkan di ruang lainnya bisa menikmati makanan dan minuman bahkan sambil berdansa. Ada meja bar juga yang masih tersimpan. Bergeser ke arah belakang kami mendapati tangga ke arah bawah tanah atau bunker. 

Ini yang paling buat saya terkesima, meskipun di ruang bawah tanah masih ada cahaya yang masuk ke dalam. Namun sayangnya tidak bisa dimasuki karena ada genangan air, tapi bisa diintip setelah turun beberapa anak tangga. "Wah, luas banget itu ruangannya " kata saya. Genangan air terlihat jelas dari cahaya yang masuk. Sangat disayangkan nggak bisa dimasuki karena adanya genangan dan airnya berbau mirip air kali Ancol. 

Setelah itu kami diajak ke rooftop (atap)stasiun Tanjung Priok yang astaga panasnya. Dari atas sini bisa lihat terminal, pelabuhan, peti kemas, bus, jaklingko, kontainer, dan gedung-gedung lainnya. Karena nggak tahan panasnya jadi nggak berlama-lama di atap. Turun ke lantai 2 terdapat dapur dengan cerobong asap besar dan lift pengantar makanan dengan katrol.

Beberapa ruangan memang sedang direnovasi. Nantinya akan digunakan untuk fasilitas penumpang juga. Langit-langit atap yang tinggi, jendela yang besar, dan urinoir jaman Belanda masih dipertahankan. Stasiun Tanjung Priok terus berbenah untuk kenyamanan bersama. 

Sejarah Pelabuhan Indonesia di Museum Maritim

Usai berkeliling di stasiun Tanjung Priok, peserta diizinkan istirahat sambil makan dan minum sejenak. Kebetulan di luar stasiun ada Alfa Express, saya, Widia dan Selvie membeli sosis, teh botol dan kopi buat mengademkan diri dari panasnya cuaca. Jajan bakso 5 ribu rupiah cukup mengganjal perut saya. 

"Sekarang kita akan ke Museum Maritim Indonesia ya. Jalan kaki kira-kira setengah jam," kata mbak Ira. Peserta sih nurut aja kata ketua. Beberapa orang memakai topi, kacamata hitam, patung buat menghindari sengatnya matahari. Sepanjang jalan di trotoar warung nasi bebek seakan-akan manggil nyuruh mampir. Memang daerah sini banyak yang jual nasi bebek. Jadi bikin laper banget kan. 

Berhenti sejenak di depan mesjid dan gereja, namanya Mesjid Al-Muqarrabien dan Gereja Masehi Injil Sangihe Talaud. Dua tempat ibadah ini dibangun selang satu tahun saja, masjid di bangun tahun 1958 sedangkan gereja tahun 1957. Bukti toleransi beragama kuat sekali hingga kini 68 tahun. 

Dari masjid kami menyebrang ke Museum Maritim masuk dari pintu 8 Jln. Bangka. Bener-bener mesti punya 9 nyawa kalau nyebrang di sini karena bersamaan dengan mobil kontainer yang besar-besar. Kami menyusuri trotoar  dengan pandangan peti kemas sebelah kanan dan kiri dan deruan mobil kontainer yang lewat. Astaga jauh juga nih jalan kaki 😁. 

Setelah melewati gedung Bea Cukai, akhirnya kami sampai di gedung PT Pelindo atau Port of Tanjung Priok, "Wah...akhirnya adem juga," kata saya sesampainya di lobi. Sebelum berkeliling lagi, ada waktu sampai 12.45 untuk ishoma. Masih kebayang nasi bebek di sepanjang jalan tadi. 

Ada 2 sisi pameran museum, sisi kanan menjelaskan sejarah maritim Indonesia sebelum kemerdekaan, masa kerajaan dan kolonial, dengan diorama dan miniatur kapal tradisional. Bagian kiri menjelaskan perkembangan maritim setelah kemerdekaan, khususnya sejarah PT Pelindo II dan pelabuhan-pelabuhan yang dikelolanya, seperti Tanjung Priok, Belawan, dan Tanjung Perak, dll.

Kak Marlin memandu berkeliling museum sambil menceritakan sejarahnya. Museum Maritim Indonesia didirikan oleh PT Pelabuhan Indonesia II atau Indonesia Port Corporation dan diresmikan pada tanggal 7 Desember 2018. Di dalam museum ini ada patung Ir. H. Djuanda yang dianggap sebagai Bapak Maritim Indonesia, untuk menghormati jasanya atas Deklarasi Djuanda tahun 1957. 

Selain pelabuhan Tanjung Priok yang diceritakan, ada pelabuhan Belawan, Cirebon, Emas, Tanjung Perak dan Sunda Kelapa. Ada jenis-jenis perahu, peralatan keselamatan dan simulasi sebagai nakhoda seakan-akan sedang mengendarai kapal. Sayangnya layarnya tidak menyala. Perlu diperhatikan nih sama pihak museum. 

Lanjut ke sisi museum satunya lagi. Di dalam sini kita bisa melihat kemaritiman Indonesia sudah ada sejak masa kerajaan. Bahkan Kerajaan Majapahit muncul sebagai kerajaan Maritim Nusantara pada abad ke-13 hingga 15 Masehi. Belanda datang ke Indonesia hanya ingin merebut rempah-rempah dari berbagai daerah. 

FYI, Museum Maritim Indonesia dibuka sejak tahun 2019 untuk umum, tapi kalau mau ke sini nggak bisa sendiri, mesti rombongan. Bahkan kata temanku, Dita, ia bela-belain ikut karena ini kesempatan datang ke museum bersama rombongan. Sejak dibuka, Museum Maritim Indonesia sudah menerima pengunjung sebanyak 2000an lebih. 

Menurut salah satu staff Museum, alasan Museum tidak dibuka lagi untuk umum karena masalah kemacetan, secara K3 juga nggak aman.  Pihak museum sedang ada negosiasi dengan Transjakarta untuk masuk dari terminal Tanjung Priok, depan museum lalu ke terminal penumpang. Semoga terealisasi ya. Jadi nggak ada yang jalan muter sejauh 2,5 km lagi. 

Well, this is my good experience. Saya dan peserta lainnya jadi nambah wawasan, tahu tentang sejarah, dan pertemanan dengan adanya spesial tur Tanjung Priok ini. Sekitar jam 3 sore acaranya selesai dan bergegas ke kantin untuk menyantap nasi bebek dan air mineral dingin. 

Tidak ada komentar