Stop Mom War, Demi Kerukunan Ibu Se-Indonesia

Tidak ada komentar
Sudah hampir 7 tahun saya menyandang status sebagai seorang ibu. Banyak rintangan, tantangan, dan kesenangan selama mengarungi profesi mulia ini. Bersyukurnya saya punya beberapa role model yang bisa jadi panutan. Paling utama pastinya ibu saya, beliaulah yang menjadi guru dalam pengasuhan anak-anak. Meskipun gayanya masih old school, saya tetap menghormatinya.

Beda zaman, beda pula penanganan asuhan anak-anak. Era milenial serba digital begini banyak informasi yang bisa didapatkan dari media sosial. Ibu saya bilang nggak boleh gendong anak dicemplak nanti bentuk kakinya kayak huruf O. Kalau sekarang ada gendongan yang posisinya kakinya begitu. Malah bagus buat pembentukan kaki. Atau kasih makan anak saat usianya 3 bulan, padahal saran WHO anak baru boleh makan di usia 6 bulan.

Sumber foto @parentalkid
Nah, perbedaan-perbedaan gaya pengasuhan itu yang dapat memperkeruh gaya pengasuhan anak tiap orangtua. Seiring berkembangnya zaman harusnya banyak perubahan juga dong. Tentunya didasari oleh ilmu, pengalaman serta sumber yang valid. Makanya istilah Mom War pada saat ini berkembang pesat di media sosial. Lalu, apa saja sih yang  biasanya diributkan oleh ibu-ibu sebangsa dan setanah air ini? Contohnya seperti ini...

1. ASI vs Susu Formula
ASI memang asupan paling baik bagi anak usia 0-2 tahun. Karena banyak kandungan yang bermanfaat bagi tumbuh kembangnya. Namun, tidak semua ibu bisa memproduksi ASI berlimpah atau kondisi ibu yang tidak memungkinkan memberikan ASI (misal sakit kronis atau meninggal dunia). Daripada si anak tidak mendapatkan asupan yang baik, susu formula sebagai alternatifnya. Bisa saja diberikan donor ASI, asal jelas sumbernya.

Keributan soal ini yang seakan tak kunjung usai dikalangan para ibu zaman now. Yang satu membanggakan ASI nya banyak, yang satu memenangkan struk pembelian susu formula di supermarket. Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya, ya dua-duanya. Karena sama-sama ingin memberikan asupan terbaik buat anak-anak. So, buat apa diributkan? 

Saya menyusui anak sampai 2 tahun

2. Vaksin vs Anti-Vaksin
Ibu saya bilang, orang dulu nggak ada tuh sakit kanker serviks atau meningitis, palingan demam atau flu, jadi nggak ada yang divaksin. Yaelah si ibu, sekarang juga masih ada sakit flu, malah ada flu burung segala.

Begitu banyaknya vaksin yang disediakan oleh pemerintah saat ini karena penyakitpun juga samakin banyak. Pemberian vaksin pada anak merupakan tameng untuk mencegah datangnya penyakit berbahaya. Ikuti saja program vaksin dasar dari pemerintah sudah cukup menjaga anak-anak, lebih bagus lagi ditambah vaksin diluar ketentuan vaksin dasar.

Anakku sehat aja kok nggak divaksin, sering dengar itu kan? Sebenarnya terserah orangtuanya sih, tapi vaksinasi itu adalah HAK kesehatan anak. Jadi anak berhak untuk mendapatkannya demi kehidupan masa depan. Mari hentikan keributan vaksin vs anti-vaksin ini kalau mau anak-anak kita sehat.


3. Working Mom Vs Stay-at-home-mom
Pergi pagi, pulang sore. Tiap bulan ada yang transfer tiap tanggal 25. Enak ya jadi ibu pekerja. Bisa hangout sama koleganya. 

Kamu sih enak di rumah aja, nggak ngapa-ngapain. Cuma urus anak aja. Nunggu transferan aja dari suami.

Kalau ada yang omong begitu, rasanya pengen saya cubit bibirnya. Saya ibu rumah tangga, sekaligus pekerja. Jadi, ada enak dan nggak enaknya juga. Coba deh para bapak ganti posisi, apa tanggapan mereka ya? 

Namun statement itu banyak terucap dari sesama ibu. Seakan menganggap remeh tiap profesi yang dijalankan. Ibu pekerja atau ibu di rumah saja sama-sama lelah dan bahagianya. Mereka tetap menjadi seorang ibu yang ingin terlihat sempurna di depan anak dan suami. Prahara antara working mom and stay at home mom tidak akan ada hentinya jika sesama ibu tidak saling mendukung. 

Tiga hal itu sih yang sering saya temui di media sosial. Perbedaan gaya parenting tiap orangtua terhadap anak-anaknya. Padahal anak-anak selow aja ya 😂. 

Peperangan gaya pengasuhan anak di media sosial ini bisa gempar ibu-ibu sebangsa dan setanah air ini lho. Oleh karena itu, lebih baik bikin konten yang damai aja deh. Supaya ada insight baik yang bisa diambil dan dilakukan. 

Kalau dari satu ibu menyebarkan konten baik di media sosial, maka efeknya akan berdampak ke ibu lainnya. Dengan begitu kita bisa mendamaikan Indonesia dari keributan gaya pengasuhan anak ini. Sama saja kita turut serta menjaga keamanan negara. 

Dalam workshop Kominfo yang saya hadiri hari ini (21 Mei 2019), Bapak Kol. Beben Nurpadillah, M.I.Kom, menjelaskan tentang fungsi dari KomPolHuKam adalah menjaga kedaulatan negara. Penyebaran konten informatif, positif dan kreatif dari satu ibu, bisa menjaga kedaulatan negara. Para ibu se-Indonesia bisa saling mendukung meskipun dengan gaya pengasuhan berbeda.

Bapak Kol. Beben Nurpadillah, M.I.Kom

Wicaksono "Ndorokakung" 


Nggak perlu yang ribet-ribet kok bikin konten itu. Wicaksono "Ndorokakung" mengatakan kemampuan orang fokus sekitar 500-800 kata saja. Karena orang sudah banyak mengkonsumsi konten. Maka itu baiknya siapkan amunisi, cari sudut pandang spesial, latihan terus, info yang singkat dan padat, sesuaikan gaya bahasa yang bisa dimengerti oleh pembaca.

Daripada ribut soal pengasuhan anak yang berbeda, mendingan bikin konten di era digital yang mengandung unsur diseminasi. Apa itu? Maksud diseminasi itu kegiatan yang ditujukan kepada target agar memperoleh informasi yang menimbulkan kesadaran, menerima dan akhirnya bisa bermanfaat. Konten kreatif Hankam ini yang berasal dari narasumber yang valid Yan Kurniawan- Drone Emprit membuat melek saya akan keributan emak-emak yang selama ini ada.

Jadi mulai sekarang hentikan ya mom war nya ya para ibu. Nggak perlu adu urat jempol di media sosial untuk kepentingan yang kurang baik. Meskipun berbeda gaya parenting-nya, tetap bersatu demi masa depan anak-anak. Berikan konten positif dari ibu jari masing-masing.


***

Tidak ada komentar