Tampilkan postingan dengan label Film festival. Tampilkan semua postingan

Sekala Niskala ( The Seen and Unseen) Tentang Keseimbangan Dalam Hidup

10 komentar
Sudah 3 bulan berjalan di tahun ini. Sajian film Indonesia pun makin beragam. Salah satunya film yang saya tonton untuk pertama kalinya diputar saat gala premiere di XXI Plaza Indonesia (27022018), Sekala Niskala (The Seen and Unseen). Awalnya saya melihat selintas di timeline instagram tentang promo film ini. Saya tertarik dengan judulnya yang tidak seperti judul film biasanya. Setelah saya cari tahu di akun instagramnya, saya semakin tertarik untuk menontonnya. Beruntungnya saya bisa hadir di pemutaran perdana sama si kecil Sagara. Pintarlah dia selama film berlangsung sekitar 1 jam lebih tertidur pulas. Jadi saya bisa khusuk menikmati alur cerita film. 

Sinopsisnya begini, suatu hari di kamar rumah sakit, Tantri (10 tahun) menyadari bahwa ia tidak memiliki banyak waktu dengan saudara kembarnya, Tantra. Kondisi Tantra melemah dan mulai kehilangan inderanya satu per satu. Tantra menghabiskan waktu terbaring di rumah sakit saat Tantri harus menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani hidup sendirian. Tantri terus terbangun tengah malam dari mimpinya menemui Tantra. Malam hari menjadi tempat bermain mereka. Di bawah bulan purnama Tantri menari; menari tentang rumah, alam dan perasaannya. Seperti bulan meredup dan digantikan matahari. Begitu pula dengan Tantra dan Tantri. Bersama, Tantra dan Tantri mengalami perjalanan magis dan relasi emosional melaluo ekspresi tubuh ; antara kenyataan dan imajinasi, kehilangan dan harapan.

Official poster
Saat baca sinopsisnya saya belum mengerti menceritakan tentang apa film ini, selebihnya saya menonton filmnya. Adegan sunyi dan bahasa yang tak biasa saya dengar karena menggunakan bahasa daerah Bali. Subtitle bahasa Inggrisnya pun sedikit yang saya pahami. Alurnya yang lambat membuat saya menebak-nebak adegan demi adegan. Saya dibuat berpikir menelaah tiap adegan yang ditampilkan. Sekala - Niskala berhasil membuat pekerjaan rumah buat saya setelah sampai di rumah. 

Proses pembuatan film Sekala-Niskala memakan waktu selama 6 tahun. Film yang disutradarai Kamila Andini begitu gelap dan misteri. Putri dari Garin Nugroho ini sungguh bisa memanjakan mata penonton yang tak biasanya. Begitupun dengan tema kebudayaan yang diangkat dari Bali. Begitu banyak filosofi yang tertanam dalam tiap simbol yang diperlihatkan. Seperti telur yang ada di tiap sesajen. Saya sampai bertanya ke salah satu teman yang berasal dari Bali, namanya Putu Sukartini @galeriarni (aku promoin nih mba). Obrolan kami lakukan melalui chat whatsApp. Jawabannya seperti screenshoot di bawah ini.


Sekala artinya alam nyata, sedangkan Niskala artinya alam ghaib. Tak bisa dipungkiri, keduanya memang ada dalam kehidupan manusia. Sekarang kita hidup di alam nyata dan setelahnya pasti kita berada di alam ghaib. Tanpa kita sadari sebenarnya kita hidup berdampingan, bergesekan dengan alam ghaib. Hanya saja sebagai orang awam tidak bisa melihat secara jelas apa yang tidak terlihat. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki bakat untuk melihat yang ghaib. Sebagai umat muslim saya percaya akan hal itu. 

Sebelum tayang di Indonesia pada 8 Maret 2018, Sekala Niskala (The Seen and Unseen) sudah memenangkan beberapa penghargaan bergengsi dunia seperti Gran Prix Winner sebagai film terbaik pilihan juri internasional dalam program Generation Kplus di Berlinale, Jerman, Best Youth Feature Film Asia Pacific Screen Awards di Australia, Grand Prix Tokyo Filmex dan The Golden Hanoman Award di Jogja-NETPAC Asian Film Fest. Ini artinya film berbalut budaya Indonesia sangat diterima oleh penikmat film.

Uniknya film ini menampilkan adegan tarian ayam dan monyet yang diperagakan oleh 2 pemain cilik yaitu Thaly Titi Kasih dan Gus Sena. Mereka sangat apik menggerakan tubuh dalam tarian. Saya sempat bertanya tentang makna tarian ayam pada akun instagram @theseenandunseen. Sang koreografer Dayu Arya Dayu Ani menjawab bahwa terinspirasi dari sabung ayam di Bali. Ada cerita rakyat di Bali tentang Dang Manik Angkeran ( tentang Besakih, pura terbesar di Bali) sekitar 7 tahun lalu ia menggarap cerita tersebut dalam sebuah koreografi, sang sutradara pun jatuh hati. Kemudian koreografi tersebut menjadi embrio koreografi dalam film ini. Dayu sangat berterima kasih pada Kamila Andini karena mengabadikan koreo tersebut.

Tarian monyet dipilih oleh Dayu karena ia akrab dengan monyet sedari kecil. Maka ia tahu bagaimana ekspresi monyet ketika marah dan memahami emosinya. Kamila Andini meminta gambaran emosi marah, lepas dan ikhlas tersebut dalam tarian. Tentunya ini suatu tantangan juga bagi Thaly Kasih. Sampai sedetail itu ya pilihan jalan ceritanya.

Bersama Kamila Andini
Sang sutradara

Suasana gelap hampir menyelimuti isi film ini. Sinematografi yang bagus dilakukam oleh Anggi Frisca. Bahkan ketika muncul adegan anak-anak yang hanya memakai kaus kutang dan celana pendek di pertengahan sawah dan kamar Tantra pun membuat saya sedikit bergidik. Ini bukan film horor yang dikaget-kagetkan dengan suara dan sosok hantu. Tapi suasana mistis terasa dari menit ke menit. Adegan yang mewakili makna Niskala menjadi terasa beda. Kehadiran Ayu Laksmi mengingatkan saya dengan sosok Ibu dalam film Pengabdi Setan. Perannya tidak menakutkan, tapi image tersebut seperti terpatri dalam otak saya.

Sekala Niskala (The Seen and Unseen) memberikan gambaran tentang budaya, kejadian alam nyata dan ghaib, tradisi dan hubungan erat antar anak kembar buncing. Suguhan genre film terbaru buat saya. Keseimbangan menjadi penyelaras kehidupan. Supaya tidak ada saling tumpang tindih. Semoga penonton lainnya bisa menikmati film ini juga yang rilis 8 Maret 2018. Film mistis nan indah yang bercerita melalui tarian.


Official trailer



SEKALA NISKALA
(Unseen and The Unseen)

Produksi
Treewater Produvtions, Fourcolours Films

Produser 
Gita Farah, Ifa Isfansyah


Sutradara dan Penulis
Kamila Andini


Pemain
Thaly Kasih Titi Kasih
Gus Sena
Ayu Laksmi
Happy Salma
I Ketut Rina


***

Enjoy the movie


Europe On Screen 2017, Hadirkan Film Berkualitas

1 komentar
Film masih menjadi wadah yang asyik bagi para penikmatnya. Film yang bagus juga berkualitas yang dicari para penonton. Hasil gambar garapan sutradara-sutradara menjadikan sebuah film yang berbeda arti untuk penikmatnya. Bagi penikmat film-film Eropa dalam sepekan bulan Mei akan diselenggarakan Festival Film Eropa ke 17 "Europe On Screen" (EOS) 2017. Sebuah ajang festival film yang memutar berbagai genre film dari Eropa.



Sebelum film diputar selama sepekan, 25 April 2017 di Pullman Hotel diselenggarakan Press Conference and Film Discussion Europe On Screen 2017. Mengundang para media, blogger, perwakilan-perwakilan dari kedutaan besar negara yang tergabung dalam Uni Eropa, mahasiswa dan volunteer. EOS 2017 akan menyajikan 74 film berkualitas. Film terbagi menjadi 5 sesi yaitu 18 film sesi XTRA, 22 film sesi DISCOVERY, 16 sesi dokumentari di sesi DOCU, 6 film di sesi RETRO, 11 film di sesi OPEN AIR . Diadakan serentak di kota Jakarta, Surabaya, Bandung, Denpasar, Medan dan Yogyakarta. Khusus venue di Jakarta akan di gelar di Erasmus Huis, Goethe Haus, Institu Francais Indonesia (IFI), Instituto Italiano di Cultura, Kineforum, SAE Institute Jakarta, Bintaro Jaya Xchange Mall, Gandaria City Mall. Tahun ini EOS 2017 akan berlangsung dari tanggal 5 - 14 Mei 2017.

Ditemui saat press conference, Charles Michael Geurts, Kuasa Usaha Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia menyatkan bahwa film merupakan asset penting bagi perekonomian Eropa. Sebanyak 7 juta pekerjaan dan menghasilkan 4,2% dari PDB Uni Eropa, secara internasional diakui sebagai salah satu sentra produksi film beragam dan terbesar di dunia.

Orlow Seunke dipercaya menjadi Direktur Film EOS 2017 menyampaikan ada 74 film berkualitas dari film - film pemenang penghargaan dari Festival Film Berlin, OSCAR, Golden Globe dan Film Terbaik Eropa 2016. Pastinya semua pemutaran film gratis. Asal mengambil tiket minimal 1 jam sebelum film diputar. Jangan takut enggak ngerti bahasanya karena akan ada subtitle dalam bahasa Inggris dan Indonesia.



Untuk malam pembukaan festival, EOS 2017 mempersembahkan film " A Perfect Day" film bergenre komedi-drama tahun 2015 dari Spanyol karya sutradara Fernando Leon de Aranoa di XXI Epicentrum, Jakarta. Sedangkan malam penutupan menampilkan " Here is Harold" film dari Norwegia karya Gunnar Vikene. Selain menyajikan film, EOS 2017 mengadakan pertemuan dengan 3 produser Eropa dan satu aktor untuk sharing ilmu dan pengalaman mereka di SAE Institue Jakarta.



Europe On Screen adalah ajang festival film Eropa yang diadakan di Indonesia untuk pertama kalinya tahun 1990, kemudian yang kedua tahun 1999. Namun sejak tahun 2003  festival ini diadakan tiap setahun sekali. Sejak 5 tahun lalu festival ini mendukung bakat para sutradara pemula Indonesia. Uni Eropa yakin akan. potensi industri film Indonesia. Bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif ( BEKRAF) mengadakan lokakarya mengenai Insentif Keuangan untuk Industri Film pada tanggal 4-5 Mei 2017.

So, jangan sampai ketinggalan untuk nonton film berkualitas di Europe On Screen 2017. Bagi saya sedikit berbeda film yang ditampilkan, tahun lalu banyak film animasi atau untuk anak-anak,  tapi tahun ini hanya 4 film untuk kategori tersebut. Catat waktu dan tempatnya untuk memilih film yang mau ditonton, datang 1 jam lebih awal kalau enggak mau kehabisan tiket, dan enjoy the movie. Oh ya, kamu bisa dapatkan buku panduan EOS 2017 di SAE Institute Jakarta.

Buku panduan  EOS 2017








****