Melepas Rindu Mendaki ke Gunung Prau

10 komentar
Sebuah ajakan naik gunung dari seorang teman menyasar ke direct message instagram saya pada tanggal 13 Juni 2019. Sebut saja namanya King.

"Prau yuk, sama bang Dolly, bang Pedot, Bray, Aming, Olip, Indri," kata King

"Budget berapa?" tanya saya.

"320 ribu itu estimasi paling gede. Bisa 200  ribuan mungkin," jawabnya.

 "Semalam doang di puncak?" tanya saya.

"Iyaa terus ke Dieng bentar," lanjut King.

"Kalo mau nomor wa lu berapa biar gw invite," kata King.



Kembali ke ketinggian 2590 mdpl

Saya mengiyakan ajakan King dan diundang ke sebuah grup what's app berjudul Prau 5-8 Juli 2019. Segala persiapan diobrolkan di sana hingga hari H-nya pun tiba. Kami berangkat sekitar 10 orang.

Tas backpack sudah siap dengan segala isinya. Perlengkapan pribadi mendaki hampir siap semua. Berangkat dari rumah sekitar pukul 15.00 WIB  menuju terminal Lebak Bulus. Sengaja lebih awal supaya nggak telat kan. Jam 16.30 WIB saya sudah sampai di Terminal Lebak Bulus sambil menunggu Olip, Indri, dan King. 

Kami berangkat terpisah. Ada yang dari Kalideres, Bekasi, Lebak Bulus dan Yogyakarta. Bis Dieng Indah yang saya, King, Indri dan Olip tumpangi. Rasanya kalau nggak telat bukan orang Indonesia deh. Jadwal jalan bis yang dijanjikan jam 17.00 WIB, eh ngaret sampai sekitar 1 jam. Alhasil jam 18.00 baru jalan. Untungnya perut sudah terisi bakso malang. 

Tiket bis Dieng Indah sudah ditangan

Bis Dieng Indah yang tak seindah perjalanannya

Perjalanan dimulai....

Sempat berhenti di Brebes untuk sholat subuh dan makan...

Setelah 17 jam perjalanan, jam 11.15 WIB sampai juga di terminal Mendolo, Wonosobo, Jawa Tengah. Menyempatkan diri untuk mandi, sholat Dzuhur dan membeli beberapa logistik. Bertemu dengan Arya (Aming) dan Riky. Jam 13.42 WIB kami berangkat menuju pos pendakian Dieng.

Perkiraan waktu perjalanan menuju pos pendakian sekitar 2 jam, ternyata jalur menuju ke atas macet. Maklum sih pas akhir pekan. Finally, kami sampai di pos pendakian Dieng Bersatu Adventure (DBA) sekitar jam 4 sore. Sampai teman-teman lain yang sudah menunggu duluan di pos pendakian bete. So sorry to bang Pedot, bang Bagor, bang July "Bray" dan Cebong yang udah nunggu sampe lapar, kenyang, tidur dan bangun lagi.

Sebelum mendaki, perlengkapan kelompok dan personal di cek satu-satu oleh petugas dengan teliti. Barang-barang seperti sabun, odol, tisu basah, shampo, mini radio, golok tebas atau senjata tajam lainnya, tidak boleh dibawa ke atas. Selain merusak alam juga membahayakan. Rokok pun dihitung berapa batang yang dihisap.

Urusan registrasi selesai setelah membayar simaksi sebesar Rp 15.000/orang, sebelum gelap menjelang kami pun berangkat dengan dimulai berdoa terlebih dahulu. Masing-masing sudah menyiapkan senter buat penerangan selama perjalanan Pendakian pun dimulai.

Pendakian dimulai dari sini
Ki-ka : King, saya, Indri, Cebong, Ricky, bang Pedot, bang Bagor, Aming, kak Olip, bang July "Bray"

Nggak takut mendaki saat malam hari? Sebenarnya pendakian malam hari itu kurang dianjurkan karena cukup berisiko. Lihat situasi medan dan cuaca juga. Kalau jalur pendakian sulit dilalui saat malam, lebih baik tunggu sampai waktu terang. Begitupun kalau cuaca sedang buruk, mending buka tenda aja deh sambil makan mie instan dan ngopi.

Jalur mulai minim dari penglihatan. Cahaya senter satu per satu dinyalakan. Langkah kami pun semakin pelan supaya tidak terlalu jauh dari teman. Sempat berpapasan dengan pendaki lain yang duluan naik atau yang mau turun di tengah istirahat kami. Ternyata nafas saya masih bisa diajak kompromi setelah 4 tahun tidak mendaki.

Registrasi di sini

Di tengah perjalanan, eh si Ricky mengalami keram kaki. Kalau nggak salah sudah sampai di pos 3. Sampai di sini sudah jam 8 malam. Semakin tinggi, semakin dingin dan semakin kelam. Perjalanan tim dibagi  menjadi 2. Tim pertama jalan duluan buat cari lokasi buka tenda sambil menunggu tim lainnya datang.

Subhanallah, dinginnya sampai ke tulang. Gemuruh angin meniup telinga kanan kiri sambil menembus jalur malam. Tubuh ini berusaha menahan dinginnya cuaca. Namun apa daya, diri ini hanya bisa tertawa di dalam kedinginan.

Kami sempat sampai di puncak gunung Prau. Saya pun melihat tugu buatan tanda puncaknya.  Karena waktu semakin larut dan dilarang mendirikan tenda di puncak, kami pun segera turun ke lembahan untuk mencari tempat. Setelah semua sampai, isi carrier pun dibongkar.

Ceritanya foto bintang malam, kelihatan nggak? 

Makin malam makin dingin braayyy. Nggak tahu deh berapa derajat celcius saat itu. Pokoknya teh yang baru dituang air panas sekejap menjadi adem. 3 tenda yang payungi fly sheet pun tidak bisa menahan gemuruh angin dingin. Hanya canda dan tawa juga menghabiskan makanan minuman yang bisa menghilangkan rasa dingin. Masih terasa dinginnya juga, akhirnya semua masuk tenda. Tidooooorrr.

Dingin menembus kaus kaki di dalam sleeping bag..

Tidur tak selelap di atas kasur dan mendengar Ketem yang mendengkur...

Dingin begini rasanya ingin kabur dan meringkuk di atas kasur.

Cepat sekali waktu sudah pagi aja. Padahal masih ngantuk banget. Tapi kalau mau tidur di rumah nenek aja sana 😆. Sayang kan sudah jauh-jauh ke gunung buat tidur doang. Bangun pagi dan rasakan lagi dinginnya dari ketinggian. Saya pun bergegas ke atas menuju bukit dari tenda. Oh My God, baru kali ini naik gunung dapat sinyal. Saya pun langsung upload Instagram stories dan foto ke Facebook saat itu juga.

Suasana tenda di pagi hari. Sibuk masak.

Foto dan upload di atas bukit

Penampakan tenda dari atas bukit
Dari atas bukit makin dingin

Ceritanya candid

Kayaknya cuma di gunung Prau ini bisa nelpon dan live medsos. Memang sih sinyalnya hilang timbul, tapi lumayan lah bisa eksis sesaat. Saya pun menikmati gemuruh angin yang berhembus kencang dan bikin menggigil. Saya sempat nggak bareng jalan-jalannya sama teman-teman lainnya. Jadi, saya putuskan ke arah pemandangan dengan background gunung Sindoro dan Sumbing sendiri. Sempat minta difoto sama pendaki lain.

Meskipun matahari makin meninggi, rasa panas tidak menyengat. Tapi pakai sun screen itu penting. Bawa gituan juga Rul? Iya dong! Biar kulit nggak terbakar meski cuaca terasa dingin. Nggak mau kan pas turun gunung wajah jadi gosong. Nggak cantik deh.

Foto dengan background gunung Sindoro, Sumbing, Merapi dan Lawu. Amazing.

Perut mulai kriyuk-kriyuk. Saatnya balik ke tenda saatnya makan pagi. Bang Pedot, bang July "Bray" dan Cebong jadi koki dadakan pagi itu. Semua masakan jadi enak aja kalau di gunung. Menu pagi itu bermacam rasa, ada bubur sumsum, nasi, sambal bawang, oseng toge, kopi, teh manis, sedep semua deh. Terasa mevvah aja menu yang seadanya ini.

Setelah semua kumpul di tenda sambil habiskan makanan, candaan tak pernah lepas dari teman-teman. Khususnya bang July "Bray" yang nggak ada habisnya bahan buat jadi tawaan. Gaya bercanda khas Betawinya pas buat main lenong sama Mandra yang shooombong amat. 😆😆😆. Dari sinilah terbentuk tim pendakian  gunung Prau "Ewer-ewer ambyaarrr". 

Hari semakin siang, jam 10 an kami berkemas untuk turun. Para pendaki lainnya juga sudah banyak yang turun. Air minum pun juga makin menipis. Jam setengah 12 kami mulai lagi perjalanan turun gunung. Meninggalkan camp Telaga Wurung. Nggak lupa bawa sampah turun.

Tinggalkan kenangan di camp Telaga Wurung

Demi konten yang menarik buat para followers, tiap ada spot yang bagus manfaatkan foto sebanyak-banyaknya. Kayak Indri sama photographer pribadinya jeprat-jepret mulu. Niat banget dia sampai bawa dress code khusus. Daebak. Lumayan juga gue difotoin juga kan.

Dari camp Telaga Wurung menuju puncak gunung Prau yang semalam terlewatkan. Semua pemandangan yang ada di bawah terlihat indah di siang hari. Nggak ada yang bisa membayar momen indah ini. Landscap ciptaan Allah SWT yang nggak ada tandingannya. Masih ada manusia yang tega merusak alam ini?

Tim "Ewer-ewer ambyaarr" di puncak Prau

Setelah puas foto-foto di puncak Gunung Prau, menikmati pemandangan indah luar biasa dari atas, kami pun turun gunung. Kalau naik habiskan waktu 4 jam, turun cuma 2 jam saja cukup. Itu pun jalan santai, sempat istirahat beberapa kali di tiap pos. Gunung Prau jalur Dieng terdapat 4 pos.

Sambil di jalan tidak ada habisnya kami bercanda. Ada saja yang jadi bahan tertawaan. Benar-benar penghilang dahaga kepenatan dari rutinitas kerja. Sampai kembali di pos pendakian sekitar jam 2 siang. Laporan lagi sama petugas dan membuang sampah yang kami bawa dari atas gunung.

Bakal kangen makan bubur sumsum campur bubur kacang ijo yang masih keras ini

Nggak capek Rul? Capeklah, tapi senang. Kalau nggak dirasa-rasain capeknya nggak terasa. Momen ini yang saya tunggu setelah 4-5 tahun vakum dari kegiatan ini. Maklum wanita beranak dua sibuk dengan urusan rantang dan ranjang. Bersyukurnya punya pasangan yang "nurut" sama hobi sama istrinya 😆. Setelah dari gunung Prau kami sempat inap semalam di rumah salah satu kenalan Indri untuk berlanjut jalan-jalan seputar wisata Dieng. Lengkapnya nanti diulas di artikel lain ya.

Alasan saya suka mendaki gunung juga nanti deh saya ulas di artikel berikutnya. Momen mendaki ke Gunung Prau kali ini sayang untuk dilupakan maka itu diluapkan dalam tulisan. Terima kasih teman-teman Ewer-ewer ambyaarr yang membuat pendakian ini jadi segar. Ditunggu pendakian gunung selanjutnya. Gunung mana lagi ya? Let's go hike!



 ****

10 komentar

  1. Seru yaaak, alhamdulillah punya suamik yang dukung hobi istri.. :D Prau itu ternyata sederetan Merqpi, Sindoro, Sumbing. Baguuus banget itu lanskap pegunungannya. Di puncak Prau gak boleh bikin tenda ya, tapi jauh gak Ras dari puncak ke tempat tenda-tenda itu? Untung ya ada sinyal haha mayan banget bisa langsung upload..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak jauh lokasi bikin tenda ke puncak. Naik 5 menit, turun 2 menit deh. Pemandangan sekitar Prau bagus banget.

      Hapus
  2. Hebat masih kuat mbak nurul.. aku juga pengen begini lagi tapi inget umur.. wkwkwk... btw, makasih sharingnya.. cuma baca aja aku ikut seneng..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kamu kuat kok asal diniatkan dengan olahraga, fisik dan mental yg kuat juga.

      Hapus
  3. Kalau ada, cerita cerita juga dong ttg kisah2 mistis di gunung. Katanya kalau para pendaki itu pasti ada aja yg dialami ttg kejadian2 mistis di gunung😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku selama mendaki gunung nggak ada cerita yang begitu mba. Malah yang ada nanti nggak ada yang mau naik gunung. Kembali ke niatnya, mendaki gunung mau apa.

      Hapus
  4. wah apstinya seru, sdh sampai capai hilang

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau sudah sampai puncak,hilang semua rasa lelah. Senengnya tak terkira dan sangat bersyukur.

      Hapus
  5. walopun lbh milih hunung drpd pantai, karena sejuk, tp aku blm pernah mendaki gunung yg bener2 gunung gini :D. paling banter cuma puncak sikunirnya dieng wkwkwkwkwk... itu jg ampir roboh krn ga kuat, maklum bdn msh kaget ama dinginnya dan terjalnya hihihihi...

    tp aku ttp suka kok. kan itu masalah kebiasaan sbnrnya, makin sering mendaki, makin kuat staminanya... mau ajakin suami ntr :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Karena mendaki gunung itu butuh persiapan matang. Dari fisik, mental, logistik dan biaya. Fisik juga harus dilatih, olahraga lah minimal seminggu sekali.

      Hapus